Fly with your imajination

Showing posts with label Multichapter. Show all posts
Showing posts with label Multichapter. Show all posts

Friday, August 12, 2016

Senja di Penghujung Tahun (1)

SUMMARY


Naruto hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah yang besar akibat kesalahannya di masa lalu. Hinata pergi karena kesalahannya bersama calon buah hati mereka.

Demi untuk memberikan kejutan pada kakeknya Bolt dan Himawari nekat pergi ke Konoha, menempuh jarak ribuan mil dari tempatnya.

Hinata hanya ingin bertemu dengan anak-anaknya karena rasa rindu yang tidak bisa ditolerir..



Pair : Naruto-Hinata
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU, OOC, OC (sedikit) typo (mungkin banyak), alur GaJe, (masih perlu banyak belajar)
Senja di Penghujung Tahun ©Mickey139

.
.


.

“Maaf Hinata, aku tidak bisa melakukannya. Aku belum siap menjadi seorang ayah.”

"Eh?" Hinata terkesiap saat pernyataan itu meluncur dari bibir Naruto. Jantungnya bagai dihantam gemuruh. Mata Almetish-nya melebar dan terus menatap Naruto dengan pedih. "A-apa maksudmu?" Suara hinata tercekat kala kalimat itu terlontar dari mulut laki-lakinya.

“Aku tidak bisa Hinata. Aku dan kau, kita masih muda. Aku masih mau mengejar impianku, kau kan tahu, aku harus belajar untuk bisa menggantikan tou-san memimpin perusahaan.” Pemuda itu berbicara dengan lancar seolah tidak memiliki beban apapun, seolah apa yang terjadi pada Hinata adalah hal sepele yang bisa diabaikan.

Hinata menunduk berusaha menyembunyikan tetes air mata yang siap tumpah, "Mengapa?" tanyanya lirih. Suaranya bergetar. Ia ingin menangis─menumpahkan seluruh emosi yang menghimpit dadanya. “Apa selama ini kau tidak pernah mencintaiku?” Lanjutnya tak berani menatap mata Naruto.

“Aku mencintaimu Hinata. Selalu. Tapi aku belum siap menjadi seorang ayah. Umur kita masih delapan belas tahun, terlalu muda untuk menikah, lagi pula kita baru saja lulus senior high. Kau tentu punya impian juga, kan?” Tutur Naruto membujuk Hinata. Sejujurnya Naruto juga tak ingin melakukan ini. Tak pernah sekali pun dalam hidupnya untuk menyakiti gadis yang dicintainya itu. tapi dia juga tidak bisa melakukan apa yang gadisnya minta.

“Tapi─”

“Maaf Hinata...” Potong Naruto cepat, tak mau mendengar kalimat-kalimat yang akan dituturkan oleh wanita yang dicintainya itu, karena akan membuat batinnya semakin perih. Menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan ucapannya. “Kumohon gugurkan bayi itu, Hinata.” Lanjutnya seraya memejamkan kedua matanya. “Kumohon Hinata. Mengertilah!”

Mata Hinata melebar sesaat setelah mendengarkan penuturan kekasihnya itu. Di detik berikutnya tetes air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya tumpah ruah membasahi gaun ungu yang dia gunakan.

Perih, jantungnya serasa ditremas kuat hingga membuatnya sulit bernafas. Sungguh, dia tak sanggup menerima itu semua, tetapi dia juga tidak bisa melakukan apa-apa, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan agar Naruto mau menerima dan bertanggung jawab untuk anak yang dikandungnya.

Jika memang Naruto tak mau bertanggung jawab, maka dia sendirilah yang akan melahirkan dan membesarkan anak itu.

Hinata meremas kuat gaun yang dia gunakan guna meredakan sesak yang menghimpitnya. Menarik nafas dalam-dalam seraya menguatkan hatinya. Hinata menatap Naruto lalu tersenyum miris. Ia yakin keputusan ini akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Ia pun mulai membuka mulut dan memandang Naruto nanar, “Baiklah. jika itu adalah keinginanmu. Aku akan melakukannya, Naruto.” Ucapnya, ‘aku akan pergi dari hidupmu Naruto bersama anak ini.’

Naruto tersenyum lebar mendengar kalimat Hinata. “Terima kasih Hinata.” ucap Naruto seraya menggenggam erat tangan Hinata. “Aku mencintaimu.”

sumber gambar google

**
Kompleks Pemakaman Konoha, 1 bulan kemudian
**

Angin sore berhembus menerbangkan daun-daun kering dari pepohonan rindang yang tumbuh di sekitar jalan danmengotori sepanjang jalan setapak kompleks pemakaman. Aroma bunga kirisan tersebar di udara oleh angin.

Langit tampak mendung dengan awan kelabu yang bergulung-gulung, semendung perasaan semua orang yang hadir di tempat itu.

Usai semua orang pergi. Naruto datang bersama ribuan penyesalan yang membuncah dalam dada. Memberikan bunga terakhir untuk sang kekasih yang telah meninggalkannya. Jujur peristiwa ini terlalu tiba-tiba untuknya, dia masih tidak rela ditinggal pergi oleh Hinata. Pemuda itu masih sangat mencintai wanita itu.

Sejujurnya dia sangat menyesal karena pergi setelah pembicaraan terakhir mereka yang berakhir dengan tidak begitu baik untuk mereka berdua. Seandainya dulu dia mau melakukan apa yang diminta oleh Hinata, seandainya ia bisa berfikir dengan lebih dewasa dan mau menerima kesalahannya, seandainya dia tidak meninggalkan Hinata, semua ini tidak akan terjadi.

“Kau adalah manusia paling hina Naruto. Tega-teganya kau menghamili Hinata dan menyuruhnya untuk menggugurkan bayi itu.”

Sejenak Naruto menghela, menengadahkan kepala menantang langit. Pikirannya dipenuhi dengan sosok Hinata dan perlahan membuat hatinya kembali teriris sakit. Jantung pemuda berusia 18 tahun itu berdegup lebih kencang dari biasanya. Dia mulai merasa lemah. Tubuhnya meluruh ke tanah.Dengan tangan yang bergetar, dia mencengkeram kuat batu nisan yang ada di depannya. Safirnya kini menerawang, menatap batu nisan itu. Sementara cairan bening tampak mengalir membasahi pipinya. Sesuatu yang tak biasa dia lakukan. Pemuda itu menangis. Menyesal dengan perbuatan yang dia lakukan dulu pada Hinata.

"Kau sendiri seharusnya tahu jika menggugurkan kandungan juga punya resiko dan kau malah menyuruh Hinata untuk menggugurkan kandungannya. Apa kau tahu setelah melakukannya, Hinata jadi tidak bisa Hamil dan karena itu... dia... dia... bunuh diri. Aku benar-benar sangat membencimu."

Kata-kata Neji kembali terngiang di kepalanya, membuat dirinya semakin sesak oleh rasa bersalah. Dia menekan dadanya semakin keras bahkan dipukul untuk meredakan rasa sesaknya, sementara air mata terus mengalir.

Benar kata Neji, dia adalah lelaki paling buruk di dunia ini. Lebih hina dari pada sampah yang paling buruk sekali pun. Apa yang ia lakukan dulu tidak pernah sekali pun dia pikirkan akan berakibat seperti ini. Hinata, gadis yang amat dicintainya pergi meninggalkan dirinya dengan beribu penyesalan akibat kesalahan dan keegoisannya.

"Hinata... Hinata... Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Seharusnya aku tidak menyuruhmu menggugurkan anak kita. Seharusnya sekarang kita bisa bersama dan kita tidak berpisah seperti ini. Seharusnya....." Air mata lelaki itu semakin deras, jatuh dan membasahi makam yang masih baru itu.

Langit tampak gelap dengan awan hitam yang semakin banyak berkumpul di atas pemakaman. Suasana yang memang sangat mendukung bagi dirinya yang sedang terluka. Perlahan ribuan titik air jatuh dan membasahi bumi tetapi Naruto tak berniat untuk pindah.
"Kenapa? Kenapa kau lakukan itu, Hinata? Kenapa kau meninggalkanku seperti ini?"

Dan apapun yang dikatakan lelaki itu, tidak akan merubah apa-apa. Hinata sudah pergi meninggalkan dunia dan tidak akan mungkin dia kembali lagi. Walau sebesar apapun rasa penyesalannya, dia tidak akan pernah lagi bertemu dengan Hinata.

Saat ini ia hanya butuh menangis dan memang hanya itulah yang dapat membuatnya lega. Ya dia menumpahkan semua penyesalannya dengan tangis.

Penyesalan bagi Naruto adalah sesuatu yang sangat menyakitkan yang─ mungkin─ bahkan dengan waktupun akan sulit terobati.

sumber gambar google

....

**
9 tahun kemudian
**
....

“Mom, ayo cepat. Sebentar lagi pertunjukannya dimulai, nanti kita terlambat.” Kata seorang anak kecil kira-kira berumur delapan tahun dengan suara cempreng. Sambil menyeret seorang wanita dewasa.

Wanita itu menatap anaknya dengan lembut. Senyum menghiasi wajah cantiknya.

sumber gambar google

“Baiklah, sayang. Jangan terlalu terburu-buru, nanti kau jatuh.” Jawabnya sambil mensejajarkan langkahnya dengan langkah kecil anaknya sambil menggenggam tangan kecil milik putranya.

Anak lelaki yang dulu pernah ditolak oleh ayah kandungnya sendiri dengan alasan umur dan ketidaksiapannya menjadi seorang ayah, kini tumbuh dengan membawa sebagian besar gen ayahnya. Mata, rambut, juga senyum lebarnya, terlalu mirip dengan lelaki itu, bahkan tidak menyisakan gen hinata untuk berada di dalam tubuh anaknya agar ikut menonjol.

Tapi itu tidaklah mengapa, karena dia sangat menyayangi putranya. Sekalipun sangat bandel.

Dia ingat, dulu dia hampir melakukan apa yang diminta oleh lelakinya untuk menggugurkan anaknya. Akan tetapi, dia tidak bisa melakukannya, hatinya tidak sanggup. Lagipula semua itu adalah kesalahan mereka dan janin dalam kandungannya tidaklah bersalah. Janin itu adalah anak mereka, sekalipun Naruto tidak menginginkannya. Dia anugerah dari Tuhan yang diturunkan untuknya dan tidak mungkin dia menolak pemberian Tuhan.

Awalnya dia memang sangat terpuruk dengan hal itu, apalagi ketika tidak ada dukungan dari orang-orang yang dia sayangi. Tapi, itu tidak berlangsung lama, karena ketika tiga bulan masa kehamilannya ayahnya datang untuk melihat keadaannya, bahkan ikut membantunya. Berusaha memenuhi kebutuhan Hinata, bahkan walau Hinata mengidamkan sesuatu yang tidak masuk akal seperti ramen dengan rasa jeruk, atau bahkan buah jeruk yang berasa ramen. Hiashi akan berusaha memenuhinya.

Memang awalnya tidak ada satupun keluarganya yang ingin membantunya, terlebih ayahnya yang sangat kecewa terhadapnya dan melarang semua keluarga besar untuk membantunya setelah dia memberitahukan apa yang dia alami. Dan itu adalah pengalaman yang tidak bisa dia lupakan.

Apalagi ketika raut kemarahan dan kekecewaan yang terpancar jelas dari raut ayahnya, ekspresi yang tidak pernah sekalipun diperlihatkan pada mereka dan itu benar-benar membuatnya merasa bersalah sekigus menjadi anak yang tak tahu diri.

Seharusnya dia tidak melakukan itu sekalipun ia sangat mencintai Naruto. Seharusnya dia bisa menahan diri ketika melihat tatapan memohon sekaligus mendamba dari laki-laki itu. yah seharusnya. Tapi semuanya sudah terjadi, waktu tidak akan berputar kembali. Apa yang terjadi dulu adalah sebuah pembelajaran untuk masa kininya.

FLASH BACK ON

“GUGURKAN KANDUNGAN ITU!” Ucap Hiashi penuh emosi sambil menunjuk perut Hinata. Mata yang biasa memancarkan kelembutan pada setiap anaknya, kini berubah dengan tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan.

Hinata tersentak, mendongak menatap ayahnya tak percaya. Bukan seperti ini yang dia inginkan, bukan bentakan dan tatapan kecewaan dari ayah dan kakak sepupunya yang ingin dia lihat, dan bukan pula tatapan kasihan dari sang adik yang dia inginkan.

Hinata menggelengkan kepalanya seraya meneteskan air mata. “Tidak oto-san, aku tidak bisa membunuhnya. dia hadir karena kesalahan kami─”

“Kalau begitu suruh dia bertanggung jawab!” bentak hiashi.

Hinata menggeleng, tidak mungkin Naruto mau menikahinya, dia sudah ditolak bahkan lelaki itu juga menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. “Aku tidak bisa oto-san. Aku tidak bisa.”

“Apa dia tidak mau bertanggung jawab?”

Hinata menunduk tak tahu apa yang harus dia katakan. “A... Aku.. ─”

“Jadi benar dia tak mau bertanggung jawab?” sentak Hiashi makin membuat Hinata merasa sakit juga bersalah.

Seumur-umur, ayahnya tidak pernah memarahinya apalagi membentaknya seperti ini sambil menunjuk-nunjuknya.

“Maafkan aku oto-san.”

“Brengsek. Aku akan membunuhnya.” Ucap Neji tiba-tiba kemudian berdiri dan bersiap untuk ke tempat Naruto.

Hinata tersentak ketika pemuda itu sudah bersiap. Dia pun ikut bangkit dan memegang pergelangan tangan Neji untuk menahannya. “Ku mohon jangan Nii-san. Aku─”

“Kau─ apa kau bodoh Hinata. Kau menderita sementara dia di sana tengah bersenang-senang dan tidak menanggung apa-apa atas dosa yang kalian lakukan.” Neji terlihat murka, urat-urat di wajahnya nampak jelas tercetak. Sepupu yang sudah dia anggap sebagai adiknya menderita karena ulah Naruto dan Hinata masih membela laki-laki itu.

Kakak mana yang akan senang dan membiarkan hal itu terjadi. Tidak ada. Sekalipun, mereka bukanlah saudara kandung, tapi Neji sangat menyayangi Hinata.

“Aku...”

Hinata tak sanggup lagi meneruskan ucapannya karena tiba-tiba kesadarannya hilang. Dia pingsan. Neji dan ayah Hinata yang masih ingin mengeluarkan apa yang ada di kepala mereka, jadi terhenti karena melihat keadaan Hinata yang tak sadarkan diri.

“Neji, urus berkas-berkas untuk kepindahan Hinata. Kita akan menerbangkannya ke Amerika, tempat bibimu berada. Dia akan mengurus Hinata di sana, sekalian mengajarkan Hinata tentang bisnis.”

“Haik.”

FLASH BACK OFF

"Mom..." Suara seseorang kembali memanggilnya. kali ini adalah suara gadis kecil seumuran dengan anak lelakinya. Dia tengah berdiri di depan mobil sambil besedekap.

"Oh, sorry honey." Hinata tersenyum melihat tingkah menggemaskan anak perempuannya yang lain. Pipinya yang gembul sengaja dikembungkan tanda kejenuhannya akibat menunggu Hinata dan Bolt.

sumber gambar google

Dulu dia tidak menyangka, jika dirinya mengandung anak kembar, meskipun kandungannya cukup besar untuk kehamilan pertamanya. Tapi dia tidak benar-benar memikirkannya.

Himawari, lahir lima menit setelah Boruto anak pertamanya dan dia mewarisi hampir seluruh gen Hinata dari rambut, wajah, bahkan kulit putih pualamnya, kecuali warna matanya yang berwarna biru langit sama seperti ayah biologisnya. Dan itu adalah kejutan yang tidak diantisipasi olehnnya karena dia tidak tahu kalau anaknya adalah kembar. Meskipun ukurannya jauh lebih kecil dari anak pertamanya.

Mereka berdua adalah anugrah terindah yang diberikan oleh Tuhan. Meskipun tanpa laki-laki itu dia berhasil membesarkan mereka.

sumber gambar google

"Kenapa lama sekali? Sebentar lagi acaranya dimulai. Kita akan terlambat."

"Iya. Kau cerewet sekali, sih." Balas Bolt tidak terima.

Hinata hanya menggeleng melihat tingkah anak-anaknya. Lalu tersenyum. Mereka berdua selalu menampilkan kelucuannya, sekalipun karena pertengkaran mereka Dan itu selalu sukses membuatnya tersenyum bahkan tertawa kecil.

"Baiklah, sudah cukup anak-anak. kalian akan lebih terlambat lagi jika berdebat disini."

"Iya." Balas mereka bersamaan.

"Oh, iya Mom, kita akan kerumah kakek, kan akhir minggu nanti? Aku rindu kakek." Himawari bertanya dengan semangat dan dianggukan oleh Bolt. Mereka berdua menatap Hinata dengan mata berbinar sekaligus berharap jika rencana mereka kali ini bisa terealisasi.

"Oh... Maafkan aku anak-anak. Mom tidak bisa. Mom masih banyak pekerjaan di sini." Ucap Hinata sangat menyesal telah membuat anak-anaknya berharap dan kemudian mengecewakan mereka.

"Mom menyesal sayang." Dan apapun yang Hinata katakan tidak bisa menghilangkan raut kecewa anak-anaknya.

Hinata menghembuskan nafas. Satu hal yang tidak dia sukai adalah melihat anak-anaknya kecewa karena dirinya. Ini sudah kesekian kalinya dia membuat mereka kecewa dan Hinata akan berusaha untuk menghilangkannya.

Setibanya mereka tiba di Trinity of International elementary. Hinata membawa kedua anaknya masuk dan dia duduk di bangku yang sudah disiapkan oleh panitia. Sementara kedua anaknya menuju ke belakang panggung untuk mempersiapkan pertunjukan mereka.

Hinata mengambil ponselnya di dalam tas, mengetikkan beberapa nomor. Lalu menunggu hingga suara panggilan itu berubah jadi kata "Halo, Nee-chan..."

"Halo, Hanabi. Apa kau sibuk minggu depan?" Hinata bertanya sambil menonton pertunjukan anak-anak sekolah Trinity.

"Tidak, Ne-chan. Ada apa?"

"Bolt dan Himawari ingin ketemu Oto-san. Mereka merindukannya, tetapi aku tidak bisa ikut pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di sini."

"Tapi aku juga tidak bisa berangkat ke sana nee-chan, pekerjaanku juga sangat banyak dan barulah minggu depan berkurang, tapi tidak bisa bepergian. Maafkan aku, Ne-chan. Ah... tapi kalau kau mengijinkan, biarkan mereka naik pesawat, biar aku yang menjemputnya di bandara."

"Aku tidak berani mengambil resiko, Hanabi. Aku tidak mau jika terjadi sesuatu pada mereka."

"Baiklah. Sekali lagi maafkan aku nee-chan, karena tidak bisa membantu. Tapi, kuharap kau memikirkannya. Bagaimanapun juga, mereka merindukan kakenya."

"Yah, akan kupikirkan ini, Hanabi. Terima kasih..."

Hinata mematikan sambungan dan kembali menatap ke panggung. Anak-anak sekolah Trinity sangat besemangat memunjukkan kemampuan mereka untuk menghibur para penonton dan setelahnya mereka akan menunjukkan senyum cerah ketika mendengar sorak dan tepuk tangan dari penonton.

Hinata jadi tidak sabar menunggu kedua anaknya. Mereka sudah berlatih keras untuk hari ini.

Lama berselang ketika sebagian peserta sudah menampilkan kehebatan mereka. Selanjutnya adalah giliran kedua anaknya. Bolt sudah siap di depan pianonya sementara Himawari berjalan menuju tengah panggung di mana microphone berada.

Suara indah dari denting piano yang dimainkan oleh Bolt menggema di dalam aula sebagai pembuka. Semenata Himawari memegang microphone nya dan bersiap melantunkan lagu yang sudah mereka siapkan.

Para tamu terdiam ketika dua suara itu menggema dalam aula. Suara mereka lembut dan menghipnotis hampir semua penonton. Walaupun mereka masih anak-anak tapi permainan nada yang mereka tampilkan sangat hebat dan hampir menyamai profesional.

Hinata menatap kedua anaknya dengan mata berbinar penuh haru. Mereka berdua sudah membuatnya bangga. Walau mereka lahir tanpa ayah, tapi mereka bisa tumbuh sehebat ini.

Sebenarnya dulu, ketika dibulan ketujuh kehamilannya, Hinata mulai meragu. Dia takut jika nanti anaknya lahir, dia tidak akan bisa menjadi seorang ibu yang baik. Dia sangat tidak percaya diri.. mengingat dia akan melahirkan tanpa dampingan seoarang suami. Namun, sekarang pemikiran itu tidaklah terbukti. Anak-anaknya tumbuh dengan perkembangan yang hebat bahkan melebihi ekspektasinya.

Hinata sangat bahagia memliki mereka berdua. Dua malaikat yang selalu membuatnya tersenyum dengan tingkah lucu dan menggemaskan. Dua malaikat yang membuatnya bertahan dan melupakan semua kesedihannya.

Tepuk tangan dari banyak penonton menyadarkan Hinata dari lamunannya. Dia melihat kedua anaknya tengah tersenyum kearahnya sambil melambaikan tangan. Hinata tersenyum melihat tingkah kedua anaknya yang seolah memberi tanda jika merekalah yang telah melakukan pertunjukan barusan. Hinata kemudian mengangguk agar mereka percaya jika Hinata juga menonton pertunjukan mereka.

Mereka berdua turun dari panggung dan menghampiri Hinata dengan berlari sambil tersenyum lebar.

"Kalian tadi hebat sekali, Mom sangat bangga pada kalian.."

"Terima kasih mom." Mereka menjawab bersama.

"Nah, sebagai hadiah. Apa yang kalian inginkan dari, mom?"

Mereka saling menatap dan ada senyum yang menghias bibir mereka.

"Tapi bisakah mom menepatinya?" Tanya Bolt. Ada harapan yang terpancar dari kedua bola matanya membuat Hinata tidak enak.

Hinata tahu apa keinginan anak-anaknya, karena mereka sudah mengatakannya berulang kali. Walau Hinata sering menjanjikannya, tapi dia sangat jarang bahkan hanya beberapa kali saja menepatinya.

"Baiklah, mom berjanji. Jadi katakan apa yang kalian inginkan?"

"Kerumah kakek." Mereka menjawab serempak. Banyak harapan yang terpancar dari dua bola mata bening mereka dan Hinata akan sangat merasa bersalah jika menolaknya.

Dan sepertinya ide Hanabi akan dia lakukan.
"Baiklah. Tapi mom tidak janji akan ikut bersama kalian."

"Lalu bisakah kami pergi tanpa mom?" Himawari manatap ibunya. Ada harapan dalam kata-katanya. Mata birunya berbinar menatap Hinata.

"Kami mohon." Kali ini Bolt melakukan hal yang sama.

Mereka berdua menatap Hinata.

Hinata menghela nafas. Mungkin dia harus menghubungi Hanabi dan menyetujui saran Hanabi tadi.

"Baiklah."

sumber gambar google
.
.
.
.
.

"Di sana kalian akan dijemput oleh bibi Hanabi. Kalian masih ingat bukan wajahnya?" Mereka mengangguk. Tentu saja mereka masih ingat karena bibinya itu hampir tiap bulan datang mengunjungi mereka. Kadang kala bahkan bersama paman Konohamaru.

"Jika kalian sudah sampai, jangan lupa menghubungi mom." kembali mereka mengangguk. Tentu saja mereka harus menghubunginya, karena mereka tidak ingin membuat ibunya khawatir. Kekhawatiran ibu mereka kadang sangat merepotkan dan mereka tidak ingin mendengar omelan yang bahkan bisa berhari-hari.

"Yes, mom. We will."



Mereka sudah berada di bandara. Hinata mengantar mereka tidak sampai di dalam, karena ditahan penjaga. Hinata menitipkan Bolt dan Himawari pada seorang pramugari yang bertugas di pesawat yang akan kedua anaknya tumpangi.

Awalnya Mereka berdua tidak diizinkan, karena umur mereka masih kecil dan tidak didampingi oleh siapapun walau Hinata sudah memberukan penjelasan. Tetapi, untungnya Hinata bertemu dengan seorang pramugara, seorang teman saat kuliah dulu. Dan akhirnya Bolt dan Himawari diizinkan untuk pergi.

Di dalam pesawat, Bolt dan Himawari duduk bersampingan. Mereka tampak tenang walau tanpa didampingi siapapun padahal ini pertama kalinya mereka melakukan perjalanan udara tanpa orang dewasa.

Mungkin karena mereka sudah sangat merindukan kakeknya. Lagipula ini adalah kejutan untuk kakek mereka. Guru mereka pernah bilang, ada hari perayaan untuk ayah dan karena mereka sudah tidak punya ayah, jadi kakek mereka adalah penggantinya.

Sebenarnya, mereka ingin memberikan kejutan saat kunjungan lalu kakek mereka, karena biasanya kakek mereka akan berkunjung tiap akhir bulan ke rumah mereka, tetapi sudah hampir enam bulan belakangan ini kakek mereka tidak datang. Kata paman Neji, kakek mereka sedang sakit jadi tidak bisa berkunjung.

Mereka jadi tidak sabar untuk sampai ke Konoha. Ingin melihat raut terkejut kakeknya. Dia pasti akan senang sekali dengan kejutan ini. Dan lagi mereka juga ingin melihat Noara, anak dari paman Neji dan Bibi Tenten secara langsung. Mereka hanya pernah melihatnya beberapa kali itupun dari ponsel panan Neji.

Noara umurnya masih tiga tahun, tapi katanya dia sangat nakal seperti laki-laki. Anak perempuan itu walaupun cantik tapi agak tomboy, dia tidak bisa diam, makanya tiap kali paman Neji berkunjung kerumah mereka dia tidak pernah membawa Noara.

Tidak berapa lama mereka sudah sampai di bandara. Bolt langsung menghubungi Ibunya.
Tapi karena tidak diangkat, Bolt hanya mengiriminya pesan.

"Mom, kami sudah sampai." Ketiknya kemudian berjalan sambil menggenggam tangan Himawari agar tidak terpisah.

Mereka berjalan dan mencari bibi Hanabi yang katanya akan datang menjemput mereka, tapi sampai sekarang mereka tidak menemukannya.

Mereka kemudian berjalan di ruang informasi setelah bertanya pada security. Meminta untuk bibi Hanabi menjemput mereka di dekat ruang informasi. Tapi sampai beberapa lama menunggu bibi mereka tidak kunjung datang. Bolt kembali meminta pegawainya untuk mengumumkan untuk bibi Hanabi menjemput mereka.

"Kenapa bibi Hanabi lama sekali? Apa mom lupa bilang pada bibi, kalau hari ini kita datang?" Himawari bertanya setelah kakaknya duduk di sampingnya.

"Tidak mungkin, Hima." Jawab Bolt. Pandangannya menyusuri pintu masuk bandara, mungkin saja bibinya sedang mencari mereka atau setidaknya baru datang dan tidak mendangar pengumuman.

"Itu dia, kak." Himawari menunjuk, seorang wanita yang tengah celingak-celinguk mencari sesuatu. Rambutnya panjang berwarna coklat, dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.

Wanita itu berjalan berlawanan arah dengan tempat mereka berdua sambil meletakkan ponselnya di telinga. Mungkin dia tengah menghubungi kami, pikir mereka berdua.

"Ah... pantas saja. Ponsel kakak mati.Mungkin bibi sedang menghubungi kita, Hima." Kata Bolt setelah melihat ponselnya.

"Kalau begitu sebaiknya kita hampiri bibi. Mungkin dia bingung cari kita, kak." Himawari memakai tas ransel kecilnya kemudian menarik tangan kecil kakaknya untuk segera menyusul bibinya yang sudah bersiap pergi berlawanan arah dengan tempat mereka.

"Bibi, jangan pergi dulu. Kami ada di sini..." Himawari dan Bolt secepatnya berlari mengejar wanita itu karena kalau tidak terkejar, mereka akan saling mencari.

Tapi wanita itu terus saja berjalan, langkahnya sangat besar dan tergesa-gesa langkah kaki kedua anak itu tidak bisa menyamainya. Bolt dan Himawari terus memanggilnya, tapi tidak sekalipun dia hiraukan. Seperti tidak mendengar apapun.

"Bibi Hanabi tunggu kami."

Wanita itu akhirnya berbalik, tapi tidak berhenti maupun menghampiri mereka. Dia terus berjalan bahkan kini dia sudah setengah berlari seperti sedang menghindari sesuatu. Tapi tidak mungkin kan dia menghindari Bolt dan Himawari karena setahu mereka bibinya itu sangat menyayangi mereka bahkan dia sendiri yang mengusulkan agar Bolt dan Himawari datang berkunjung dan memberikan kejutan untuk kakek.

Wanita itu sudah sampai di luar bandara. Dia terlihat sedang menunggu sesuatu, tapi tidak seperti menunggu Bolt dan Himawari.

Ketika taxi berhenti di depan wanita itu, dia lalu menumpanginya dan tidak peduli pada Bolt dan Himawari yang sedari tadi mengejarnya.

Bolt melepaskan genggamannya dari Himawari agar larinya bisa lebih cepat dan bisa menghentikan bibinya yang akan meninggalkan mereka. Taxi itu bergerak dan perlahan meninggalkan bandara. Bolt semakin mempercepat laju larinya, dia tidak mau ketinggalan. Mereka tidak mau terluntang lanting dan membuat ibu mereka khawatir.

Dan ketika mobil itu menyebrang, Bolt tidak bisa menghentikan kakinya untuk mengejar. Banyak mobil yang berlalu lalang di sana, tapi tidak dihiraukan anak itu.

Himawari di belakangnya terus meneriakinya untuk berhenti mengejar dan kembali padanya, tapi dia tidak bisa. Dia harus bertemu dengan bibi mereka, agar mereka bisa diantar ke kakek.

Ckik

Bolt terjatuh di aspal. Wajahnya pucat. Hampir saja nyawanya melayang jika saja sang pemilik mobil tidak me-rem mobilnya tepat waktu.


.
.
.
.
TBC

a/n : Hai... Aku balik lagi dengan cerita baru. Sambil menunggu cerita lain yang belum kelar. Sebenarnya cerita ini juga baru ku temukan setelah mengotak atik arsip di LEPI (sebelum LEPI EROR) dan karena LEPI lagi eror jadi dieditnya lewat HP. Jadi maklum yah kalau kalian banyak menemukan TYPO.

BTW, Mungkin kalian sudah sering membaca cerita dengan tema seperti ini, dan saya harap sih kalian gak bosan kalau baca ceritaku ini. Karena seperti yang ada di kepala kalian semua, endingnya juga bakalan sama.

Oh, iya sampe lupa. Pasti kalian bertanya-tanya, kok gaya bahasanya beda-beda sih, yah aku hanya menyesuaikan dengan sudut pandang anak-anak dan orang dewasa. Aku merasa aneh saja kalau sudut pandang anak kecil disamakan dengan sudut pandang orang dewasa.

Eh... sudah yah, hahahaha... (paling juga catatan authornya gak di gubris :'( Abaikan saja catatan ini kalau merasa gak penting. Hahahaha...

Share:

Monday, August 1, 2016

Hinata 10

BACA : Chapter 9
Aku tidak ingin mengakhirinya dengan air mata kesedihan, karena kita memulainya dengan senyum dan tangis kebahagiaan.
...
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*

HINATA
Chapter 10
*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*.*
...
Cerita sebelumnya :

Naruto berniat menyapanya jika saja orang itu tidak berbalik dan melihatnya. Jantungnya berdegup, entah mengapa. Dalam pikirannya, dia membayangkan gadis yang dilihatnya itu adalah sesosok makhluk astral yang ditakutinya. Rambutnya panjang menjuntai hingga kepinggang dan ketika berbalik sebagian wajahnya tertutup oleh rambutnya dan karena menutupi cahaya, wajahnya jadi gelap.

Naruto baru akan beranjak dan mengambil langkah seribu dari tempat itu kalau saja dia tidak mendengar suara halus nan lembut yang sudah dia hapal.

Hinata

Dan masih dalam keterpakuannya gadis itu menyapanya.

“Naruto-kun!?”

...... ...
...

Pair : Naruto, Hinata, Sasuke, dan Sakura
Rate : T
Genre : Romance, Hurt/Comfort & drama
Disclaimer : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO dan semua character yang ada di dalam cerita ini
WARNING : AU,OOC, typo, alur kecepatan, ga⎯je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Story by
Mickey_Miki
...
...

~Happy Reading~
.
.
.

Chapter 10 : Kenyataan

Mugkin ini adalah jawaban dari harapannya selama ini. Dipertemukan dengan Naruto dengan keadaan tanpa seorang─ yang bisa mengganggu mereka. Seperti semalam. Tapi bukannya berbicara Hinata malah terdiam. Bingung mau bicarakan apa. Pasalnya laki-laki dihadapannya itu sudah beberapa hari yang lalu menghindarinya tanpa diberi alasan.

“Naruto-kun!?”

Dan jadilah hanya itu yang bisa dia ucapkan. Rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan semua kata-kata yang ada dikepalanya.

“Maaf...”

Entah itu efek suara yang dia dengarkan dari suara-suara alam atau memang itu adalah suara yang dikeluarkan dari bibir Naruto. Tetapi itu terlalu kecil, saking kecilnya, suaranya bahkan jadi tersamarkan oleh suara-suara yang ada di sana.

Matahari makin beranjak naik, hewan-hewan di sana mulai keluar satu per satu untuk mencari makan, namun mereka masih hening. Tak ada yang bersuara, mereka masih betah dalam kesunyian itu. Hingga Hinata memberanikan diri untuk melangkah mendekati Naruto.

Hanya inilah kesempatannya. Tuhan sudah memberikan kesempatan ini untuknya dan dia tidak boleh menyia-nyiakan. Satu kejelasan harus dia dapatkan, kenapa Naruto menghindarinya dan seolah menganggap dia adalah kuman yang tidak boleh di dekati. Memang dia punya salah apa hingga dia diperlakukan begitu?

“Hinata..”

“Naruto-kun, bisakah kita bicara, sebentar?” Tanyanya setelah langkahnya yang kian mendekati Naruto. Jantungnya berdetak cepat, ia gugup dan ia merasa seolah menjadi gadis yang ingin menyatakan cintanya pada laki-laki. Padahal mereka adalah sepasang kekasih.

“Hinata...”

Sedang Naruto. Ia masih menatap Hinata. Pandangannya syarat akan banyak penyesalan. Yah, dia memang salah, sudah mengombang ambingkan perasaan gadis itu dan sekarang tentu gadis itu akan menuntut kejelasan padanya.

Dan entah mengapa tiap derap langkah gadis itu seolah akan membawanya menuju jurang penyesalan dan rasa bersalah. Jujur, dia tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang sudah dia lakukan. Dan─ yah─ dia memang belum siap.

Dia belum siap untuk dibenci oleh gadis itu, dia belum siap untuk dijauhi oleh gadis itu, dia belum siap kehilangan senyum gadis itu, dan dia belum siap jika harus benar-benar kehilangan Hinata. Gadis yang secara perlahan sudah mengisi kekosongan hatinya dan menggantikan posisi gadis kecilnya.

Naruto masih bergeming dalam keadaan semunya. Semua kata-kata yang sudah disusunnya hilang, berganti bisu yang menyakitkan.

“Naruto-kun...”

Hingga langkah kaki Hinata sudah berjarak lima langkah dari hadapannya barulah Naruto sadar dari keadaan diamnya.

“Bolehkah?”

Sekali lagi Hinata bertanya. Naruto mengangguk tanda persetujuan. Tidak ada kata yang bisa diucapkan olehnya. Dirinya masih sibuk merangkai kata di dalam kepanya untuk bisa menjelaskan apa yang sudah dia lakukan agar gadis itu tidak terlalu sakit nantinya.

Tetapi seberapa baik pun untaian kata yang akan dia tuturkan. Dia tahu jika hasilnya akan sama. Gadis itu pada akhirnya akan merasa sakit.

Beberapa lama mereka masih dalam keadaan diam. Tidak ada satu pun dari mereka yang berusaha mencairkan suasana itu. Hinata memandangi Naruto. Dia jadi merasa ragu akan apa yang ingin bibirnya ucapakan, tetapi semakin lama dibiarkan, semakin lama pula rasa sakit dia rasakan. Penjelasan Naruto bagaikan obat dari rasa sakit itu.

Hinata menelan ludahnya susah payah, menguatkan dirinya dengan apa yang akan nantinya terjadi. Perlahan dia hembuskan nafasnya lalu kembali menatap Naruto, lalu “Naruto-kun, kenapa selama ini kau menghindariku? Apakah.... Apakah aku mempunyai kesalahan padamu?” Tanyanya. Ada gemuruh yang menyesakkan dadanya ketika mengeluarkan rentetan kata-kata itu. Tapi dia harus kuat. Apapun jawaban Naruto, dia akan tetap menerimanya. Bukankah, mencintai adalah harus menerima keadaan orang yang dicintai? Bahkan mungkin perasaan tertolak yang akan dia dapatkan.

“Maaf....!”

Deg

Kedua tangan Hinata saling meremas di belakang punggungnya, berusaha meredam gejolak sakit yang dia rasakan.

“Maafkan aku, Hinata. Aku sudah tidak bisa lagi?”

Jantung Hinata seraja dihujam ribuan pedang, membuatnya sesak dan sulit bernafas, “A...apa maksdumu, Naruto-kun?” Tanyanya. Ada nada getir yang kentara dalam suaranya. Dia tahu. Dia tahu apa maksud di balik kata-kata yang terucap dari bibir laki-laki itu namun dia berpura-pura tidak tahu dan sejujurnya dia tidak ingin tahu.



Naruto menarik nafas dalam-dalam, Ia yakin keputusan ini akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Dia tidak ingin mereka semakin terluka. Ia pun mulai membuka mulut dan memandang Hinata nanar. “Maaf…. Aku tidak bisa lagi Hinata. Hubungan kita... Aku tidak bisa lagi.” Ucapnya menyesal, kembali menundukkan kepalanya. Dia tidak bisa menatap wajah penuh kesedihan itu. Rasanya sungguh sakit.

“Tapi kenapa? Apa salahku?” Suara Hinata mulai serak.

Naruto menatap Hinata cepat. “Kau tidak salah, Hinata. Aku lah yang bersalah. Aku minta maaf. Seharusnya dulu, ketika aku menolongmu, bukan dengan cara seperti ini. Seharusnya aku bicara saja dengan Sasuke agar dia tidak mem-bulliy-mu, tapi aku... Aku... Aku minta maaf, Hinata.” Naruto tidak tahu apa lagi yang harus dia jelaskan. Dia kembali menunduk. Laki-laki itu tidak berani menatap Hinata.

Sakit, jelas jika dia juga rasakan, tapi mau bagaimana lagi. Jika dia tidak melakukan ini, rasa bersalahnya akan semakin besar dan dia tidak ingin mereka akan semakin sakit jika akhirnya Naruto bertemu dengan gadis kecilnya.

Sementara Hinata, walaupun gadis itu sudah menyiapkan dirinya. Walaupun dia sudah menguatkan dirinya, tetap saja rasa sakit itu lebih mendominasi. Hanya airmata, isakan, dan tatapan sendu yang mampu Hinata ‘suarakan’. Gadis benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

“Maafkan aku, Hinata.”

Tak ada satu patah kata pun yang diucapkan oleh Hinata. Ia tetap bertahan dalam kesunyian semunya. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Isakannya terdengar bagai pisau tumpul yang mengiris hati.

Naruto ingin sekali meraih gadis itu, memeluknya, menenangkannya, namun ia menahan dirinya. Jika ia melakukan itu, maka semua usahanya akan sia-sia. Dia pasti tidak akan melepaskan gadis itu dan janjinya pada gadis kecilnya yang dulu, akan dia abaikan kembali, lalu melupakannya dan membuat gadis kecilnya menunggunya semakin lama dan pada akhirnya mereka semua akan merasakan sakit yang lebih sakit dari pada ini.

Hinata mengusap air matanya. Ternyata apa yang pernah dia ragukan akhirnya terjadi. Rupanya Naruto hanya membantunya agar terlepas dari bully Sasuke, sahabatnya dan tidak benar-benar menyukainya.



Hinata mendongak menatap Naruto yang menunduk di hadapannya. Gadis itu masih belum mau bicara. Hatinya terlalu perih, bagai disayat lalu dibubuhi oleh air cuka. Sakitnya lebih sakit dibanding diabaikan oleh lelaki itu.

Dia kecewa, sangat... Sangat... Sangat kecewa dengan Naruto. Seharusnya dulu dia tidak mengatakan jika dia mencintai Hinata, seharusnya dulu Naruto tidak memintanya menjadi kekasihnya hanya untuk menolongnya, seharusnya dulu dia tidak menerima Naruto. Yah seharusnya. Dan ini tidak akan terjadi.

Dia tidak akan merasakan sakit seperti sekarang.

Lebih baik dia tetap di bully oleh Sasuke dibanding diberikan pengharapan tinggi oleh lelaki itu lalu dihempaskan kuat hingga menjadi kepingan kecil yang susah buat disusun kembali. Lelaki itu begitu jahat. Mencoba menjadi pahlawan namun nyatanya dia sendirilah yang menyakiti gadis itu.

Tapi meskipun begitu, Hinata tetap tidak bisa membenci lelaki itu. Hatinya seolah memberontak dan membiarkan hal itu.

Dan Hinata tahu, dia adalah gadis yang begitu bodoh dan naif yang tidak bisa membenci lelaki yang sudah menyakitinya.

“Baiklah.”

“Eh,” Naruto terkesiap ketika satu kata itu meluncur dari gadis yang baru saja dia sakiti. Tidakkah gadis itu merasa kecewa? Tidak. Naruto yakin gadis itu kecewa dan terluka karenanya. Tetapi gadis itu berusaha kuat untuk menerimanya.

Yah, Naruto tidak akan berkelit jika dikatakan sebagai lelaki yang jahat dan brengsek karena sudah menyakiti hati gadis sebaik Hinata.

“Jadi kita berakhir seperti ini, yah?” Kata Hinata lagi. Senyum simpul dia torehkan di wajahnya, walau bulir air mata terus mengalir.

“Hinata, aku minta maaf.” Dan Naruto. Tidak ada kata lain yang mampu bibirnya ucapkan selain permintaan maaf.

“Tapi...” Hinata menghentikan ucapannya, hanya untuk melihat reaksi Naruto. Naruto menatapnya. Ada tanya yang tersirat dalam binar mata lelaki itu, “Bisakah kita menjadi sepasang kekasih sampai kemah ini selesai.” Lanjutnya, berharap jika permintaannya itu dapat dikabulkan oleh lelaki itu.

Yah, walau pun dia merasa sedih tetapi dirinya tidak ingin hubungan mereka berakhir dengan air mata penyesalan dan rasa bersalah seperti sekarang, tetapi dia ingin hubungan mereka berakhir dengan kesan yang indah dan senyum menghias bibir.

Naruto memandang Hinata terkejut sekaligus takjub dengan apa yang gadis itu utarakan. Naruto tidak pernah berfikir jika gadis sepemalu Hinata berani mengatakan kalimat penawaran yang menurutnya sangat tidak cocok dengan kepribadian Hinata.

Namun dia tidak akan menyangkal, jika penawaran itu juga membuatnya sangat senang. Walau hanya tinggal dua hari termasuk hari ini, tetapi dia berjanji akan mengakhiri hubungan mereka dengan senyum tanpa air mata dan penyesalan.

“Baiklah.”

Dan kata itu sebagai penutup pembicaraan dengan topik menyedihkan mereka.


....

Sementara itu, di balik pohon ada seseorang yang menatap mereka dengan pandangan sedih. Ternyata apa yang dia takutkan terjadi juga. Laki-laki pirang itu akhirnya menyakiti Hinata. membuatnya kembali bersedih, bahkan kemungkinan kesedihan yang dia rasakan berpuluh kali lipat dari siksa bully Sasuke Uchiha, dulu.

Gadis buble-gum itu sebelumnya hanya ingin menikmati pemandangan matahari terbit yang pernah dia lihat dua tahun yang lalu saat masih di middle school, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara percakapan oleh dua orang dan ternyata mereka adalah Hinata dan Naruto. Sepasang kekasih yang menyembunyikan status mereka.

Gadis itu sebenarnya tahu mereka siapa. Yah, dia tahu mereka berempat siapa. Dia, Naruto, Hinata, dan... Sasuke. Walau pun sudah lama dan kemungkinan mereka sudah melupakan kenangan mereka saat berada di taman kanak-kanak tetapi dia masih ingat, bahkan janji anak kecil yang diucapkan oleh lelaki itu masih dia pegang─ walau pada akhirnya dilupakan.

Ada alasan yang membuatnya tidak mengatakan jika mereka sebelumnya saling mengenal. Satu sifat yang sampai sekarang masih melekat di dirinya. Sakura si pemalu. Dan dia tidak ingin dikatakan menjadi seorang sok kenal dengan mengatakan itu dan membuatnya malu atau bahkan dilempari tatapan aneh yang selalu membuatnya tidak nyaman.

Tetapi karena itu pulalah peristiwa bully oleh Sasuke terjadi dan sekarang lelaki pirang itu juga menyakiti gadis itu. Entah kenapa, dan akhirnya rasa bersalah serta penyesalan itu akhirnya mereka rasakan.

Sakura mengalihkan pandangannya dari mereka. Melihat sinar matahari yang semakin jelas, kemungkinan saat ini sudah pukul 06.30 pagi, itu artinya dia harus kembali, jika tidak ingin yang lain jadi cemas karena hilangnya dirinya saat yang lain belum terbangun.

Sebelum beranjak jauh dari sana, Sakura kembali melihat mereka. Samar-samar dia lihat Naruto tengah memeluk Hinata dan gadis itu tampak tersenyum. Entah itu senyum getir atau bahagia.

....

Saat Naruto dan Hinata sampai di tempat perkemahan, matahari sudah beranjak naik dengan sedikit terik. Semua murid sudah bangun dengan perlengkapan untuk eksplorasi. Mencari dan mengamati objek tumbuhan dan mengidentifikasinya. Jenis, perbedaan, persamaannya, manfaat, juga efek yang bisa ditimbulkan dari tanaman tersebut.

Naruto melepas genggamannya pada tangan Hinata dan menyuruhnya untuk bersiap. Mereka memang sekelompok bersama Sasuke, Sakura, juga Kiba si penyuka anjing, yang sudah bersiap dengan perlengkapannya.

Sasuke maupun Sakura menatap Hinata yang baru saja berlalu dihadapan mereka dengan pandangan yang berbeda. Jika Sakura menatap Hinata dengan sedih, maka lain dengan Sasuke yang menatapnya kasihan.

Mereka berdua tahu, apa masalah yang dihadapi oleh pasangan itu namun tidak bisa membantu.

Walaupun Sasuke berstatus sebagai sahabat Naruto, tetapi dia sendiri tidak tahu alasan apa yang membuat Naruto ingin melepas Hinata, padahal setahunya dia sangat menyukai gadis itu.

“Mereka berdua dari mana? Dan kenapa bisa bersama?” Celutuk Kiba tiba-tiba, menatap penasaran pada dua anggota kelompoknya yang lain. Barangkali saja mereka tahu.

Akan tetapi, tidak ada tanggapan dari Sasuke maupun Sakura, dan membuat Kiba mencebikkan bibirnya hingga beberapa centi ke depan. “Ah, kalian tidak seru.” Lanjutnya lalu terdiam dan kembali mengamati tugas kelompok yang harus mereka selesaikan.

“Kita tunggu mereka 15 menit.” Kata Sasuke beberapa menit kemudian setelah melepas pandangannya pada Hinata, lalu beralih pada anggota kelompoknya, Kiba. Entah kenapa setiap menatap Sakura atau mengajaknya bicara, gadis itu selalu mengalihkan pandangannya dan tidak ingin menatapnya.

Sasuke jelas tahu apa alasannya. Gadis itu mencoba menghindarinya karena sudah melupakan janji mereka─ yang sampai saat ini pun masih dia cari tahu janji seperti apa yang sudah dia ucapkan pada gadis itu.

Dia ingin bertanya pada Sakura, namun gadis itu selalu menghindarinya. Dan lagi egoisme sang Uchiha masih melekat setia pada dirinya yang membuatnya enggan bertanya.

Sasuke menghela nafas, mungkin nanti dia akan mendapatkan jawabannya. Dia kemudian membuka peta area tempat mereka akan melakukan eksplorasi. Menjelaskan apa saja yang harus dilakukan oleh teman kelompoknya.

“Kiba, carilah tanaman sejenis ini lalu klasifikasikan sesuai kelasnya.”

“Oke.... Apa? Tunggu, apa hanya aku saja yang akan mengerjakan ini?”

“Kau bersama Naruto.” Sasuke menjawab dengan nada bosan, tahu kalau teman kelompoknya ini lebih senang bermain ketimbang mengerjakan tugas mereka, dan sangat baik jika disandingkan dengan Naruto yang juga lebih senang bermain. Jadi Sasuke bisa memarahi mereka─ setidaknya mereka bisa dijadikan luapan emosinya.

Anggap saja saat ini Sasuke butuh pelampiasan karena masalahnya dengan Sakura dan mereka berdua sangat cocok untuk itu. Lagipula Sasuke benar-benar ingin menghajar Naruto yang membuat Hinata jadi sedih.

Walau pun dia tidak ada hubungannya dengan mereka, tapi rasa bersalahnya terhadap gadis itu masih ada dan dia tidak mau Hinata terluka lagi, apalagi karena gara-gara sahabatnya.

“Eh... aku tidak mau, Teme. Kalau aku bersama dengan dia, yang ada tugas kami tidak akan ada yang beres.” Naruto tiba-tiba datang dan memprotes membuatnya mendelik dengan tajam ke arahnya.

“Iya itu benar. Yah, walaupun aku juga ingin bermain dengan Naruto, tapi kalau tugas kami tidak ada yang beres kau pasti akan memarahi kami. Dan aku tidak mau.” Kiba juga menimpali.

Rupanya mereka sadar dengan rencana Sasuke.

“Aku ingin berpasangan dengan Hinata-chan , Teme dan biarkan aku berpasangan dengannya.”

Sasuke seketika menatap Naruto, tajam dan penasaran. Apa lagi yang akan dilakukan oleh Naruto? Tidak cukupkah dengan semua perlakuannya selama ini pada gadis itu dan sekarang dia coba dekati lagi?

“Tidak.” Jawab Sasuke tegas dan cepat.

“Eh... kenapa?”

“Kau hanya akan merepotkan Hinata.” Jawabnya lagi. Dia tahu sahabat blonde-nya itu akan terus meminta sampai permintaannya dikabulkan. “Kau tidak akan bekerja dan malah mengganggu Hinata.” Sasuke menatap Naruto, “Sebaiknya kau bersama Sakura.”

“Apa... tidak. Aku tidak mau. Kenapa bukan kau saja yang berpasangan dengan Sakura-chan dan aku dengan Hinata.” jawab Naruto tidak terima

Sasuke menatap jengah Naruto. “Tidak ada bantahan, Naruto.”

“Aku─”

“Aku, Hinata, dan Kiba akan bersama, terserah dengan kalian berdua mau bagaimana. Aku akan mengerjakan bagian ini─ pengklasifikasian bagian tumbuhan─ bagian yang kau suruhkan ke Kiba, di area ini.” kata Sakura tiba-tiba memotong ucapan Naruto yang hendak memprotes lagi.

Setelahnya menarik Hinata yang baru saja datang dengan raut bingung dan penasaran. “Ayo, Hinata, Kiba...” lalu berlalu meninggalkan mereka berdua. “Kiba, kau masih mau berada di situ atau ikut dengan kami?” Sakura berteriak memanggil Kiba yang tidak kunjung beranjak dari tempatnya.

Di sisi lain baik Sasuke juga Naruto masih terdiam di tempatnya. Menatap ketiga orang yang sudah berlalu dari hadapan mereka.

“Entah, itu hanya perasaanku saja atau memang Sakura-chan sedang menghindarimu, Teme. Apa kau sudah melakukan sesuatu pada Sakura-chan ?”

Sasuke diam, tidak menanggapi omongan Naruto. Dia masih sibuk menatap kepergian mereka sambil bertanya-tanya dalam kepalanya. Dia sendiri masih mencari tahu apa yang sebenarnya pernah dia janjikan pada gadis itu. Hingga gadis itu rela menunggunya yang bahkan tidak dia ingat sama sekali.

Kecelakaan itu benar-benar membuatnya lupa dengan kenangannya dulu. Seberapa keras pun dia coba ingat, kenangan itu tetap tidak bisa kembali sepenuhnya padanya.

Hanya samar dan perlahan.

Pernah sekali ingatan samar itu terlintas, ketika Sakura mengembalikan kalung Kristal dengan lambang Uchiha dan bunga Sakura yang mengelilinginya kepadanya yang katanya pernah dia berikan.

Ingatan tentang dua anak yang tengah bermain, tetapi dia tidak yakin jika itu adalah dirinya. Mereka tampak bahagia. Penuh senyum juga tawa. Di sekeliling mereka penuh warna ceria. Tidak ada air mata dan sedih.

“Woi…. Teme…”

Sasuke tersentak ketika suara cempreng milik Naruto terdengar di telinganya. Dia berbalik namun tidak menanggapi dan berlalu meninggalkan Naruto. Dirinya masih kesal dengan perbuatan laki-laki itu.

“Hoi… Teme, tunggu aku…”

…..

Walau awalnya Sakura, Hinata, dan Kiba sekelompok dalam pembagian kelompok tiba-tiba Sakura, kini kelompok itu sudah tidak lagi bersama. Entah kapan kelompoknya itu tercerai berai dan menyisakan Naruto dan Hinata bersama.

Mereka berdua tentu senang. Rencana yang tadi pagi terbuat akhirnya bisa terealisasi. Sambil menyelam minum air, mungkin itu pepatah yang cocok buat mereka− sebenarnya buat Naruto. Mengerjakan tugas sambil mencuri kesempatan bisa bersama Hinata.

Angin berhembus memainkan dedaunan-dedaunan kering yang mereka pijaki. Daun-daun dari pepohonan bergerak, menari dan menghasilakan irama alam. Burung juga ikut meriahkan daerah itu, seolah ikut berbahagian melihat kebersamaan mereka.

Naruto dan hinata menikmati suasana itu. Mereka masih mencari tumbuhan mana yang cocok untuk mereka klasifikasikan.

“Hinata-chan , coba lihat ini.” Naruto menarik hinata untuk melihat tumbuhan yang dilihatnya. Jamur dengan bentuk lebar mirip seperti daun telinga berwarna coklat kehitaman dan terlihat kenyal. Naruto menyentuhnya dan merasakan tekstur dari jamur itu.

“Bagaimana menurutmu dengan ini?” ucapnya sambil memainkan jamur itu, menekan-nekan dengan dua jarinya hingga menghasilkan suara.

“Baiklah. Tapi bi…bisakah, ka…kau tidak menyentuhnya seperti itu, Naruto-kun. Aku…aku merasa ge…geli…” ucap hinata sedikit terbata geli campur jijik seperti tengkuknya tengah ditelusuri dengan angin yang membuatnya geli tidak enak.

“Kenapa?” tanyanya. Matanya memandang Hinata polos, namun jari-jarinya semakin menekan-nekan jamur itu.

“Na… Naruto-kun, kumohon.” Hinata memelas membuat Naruto sedikit geli dengan tingkah gadis itu.

“Hehehe… Baiklah.” Ucapnya lalu menghentikan gerakan jahil jari-jarinya.

Hinata kemudian ikut berjongkok di sebelah Naruto, menyiapkan perlengkapan alat tulisnya lalu mengerjakan tugas mereka.

“Tahu tidak Hinata-chan , kenapa jamur ini bentuknya berbeda dengan jamur yang lain.” Kata Naruto tiba-tiba. Matanya memandang jamur itu dengan penuh minat, berbinar seperti anak kecil yang melihat hal baru.

Hinata menghentikan gerakannya sejenak, menggeleng lalu melihat Naruto, “Tidak. Naruto-kun tahu, mengapa bentuk dari jamur itu berbeda?”

Sejenak Naruto menatap Hinata. Pandangannya syarat akan banyak perasaan. Dia menghembuskan nafasnya pelan sebelum cerita. “Awalnya bentuk jamur ini sama dengan jamur yang lain, seperti payung yang dilebarkan untuk menahan air hujan.” Hinata diam menyimak, menatap Naruto yang tengah membayangkan sesuatu. “Tetapi dia berubah karena memiliki perasaan yang tidak boleh dimiliki oleh setiap jamur.”

“Apa itu?”

“Egois.”

“Hm...? Maksudmu?”

“Jamur itu mencintai hujan dan ingin memilikinya untuk dirinya sendiri, padahal dia tahu hujan sangat dibutuhkan oleh banyak makhluk dan bukan hanya dirinya. Dia ingin menikmati air hujan itu untuk seterusnya dan tidak perlu lagi menunggu musim hujan untuk bisa bertemu dengan hujan. Suatu ketika, hujan tidak datang-datang, satu hari, dua hari, bahkan berhari-hari dan membuat jamur itu merasa sedih. Banyak jamur yang mulai kering, layu, lalu mati. Hanya ada beberapa yang bertahan, termasuk dirinya. Dan akhirnya di pertengahan tahun hujan, saat awan-awan hitam bergumpal, angin kencang berhembus akhirnya hujan datang, membasuh bumi dengan airnya, membuat mereka bahagia, senang juga lega.

Jamur tersebut melakukan sesuatu terlarang, hal yang tidak boleh dilakukan oleh para jamur.” Sejenak Naruto menghentikan ucapannya, melirik ekpresi Hinata yang penasaran. Tangan yang tadi dia gunakan untuk mencatat klasifikasi tumbuhan jamur tersebut terhenti hanya untuk mendengar kelanjutan cerita Naruto tentang jamur kuping.

Hinata menatap Naruto, binar polos terpancar dari iris almetish milik gadis itu. “Apa itu?”

“Jamur itu membuka bagian tudungnya untuk menadah hujan. Hal itu adalah terlarang bagi jamur, sebab jika mereka membuka, maka proses reproduksi mereka akan terhenti. Di tudung mereka adalah letak spora yang harus mereka sebarkan untuk menghasilkan keturunan, jamur baru. Setelah dia mendapatkan air hujan, dia berniat untuk menutup kembali tudungnya. Akan tetapi, tudung tersebut tidak bisa menutup kembali. Jadilah bentuk jamur kuping seperti itu.” Jelas naruto. Ada kekehan yang keluar ketika melihat raut hinata yang tengah kebingungan karena cerita karangan dadakan yang dia buat.

Hinata menyerngit bingung, mendengar penjelasan naruto. Dahinya sedikit mengkerut, “Aku─”

“Apa kau sudah menyelesaikannya, Hinata-chan ?” Tanya Naruto memotong pertanyaan yang ingin dilontarkan oleh Hinata, sebab dia pun tidak akan tahu jawabannya.

“Sudah, Naruto-kun. apa─”

“Ayo, kita cari tumbuhan yang lain.” Katanya, setelah mengambil gambar jamur tersebut lalu bangkit dan menarik pelan tangan Hinata lalu menuntunnya mengikuti langkahnya.

Hinata terhenyak, darahnya berdesir dan menghasilkan perasaan hangat. Genggaman tangan Naruto terasa hangat, besar dan melingkupi jari jemarinya. Sangat pas, seperti memang sudah diciptakan untuk berpasangan.

“Selanjutnya, di mana lagi kita mencari. Kau membawa petanya kan, Hinata-chan ?” tanya Naruto, tetapi Hinata yang masih terpaku dengan perasaan hangat yang diakibatkan pautan jari jemari mereka dan tidak memberikan respon.

“Hinata-chan , kau tidak apa-apa?” Naruto menghentikan langkahnya katika tidak mendapatkan respon dari Hinata dan menatap gadis itu yang masih diam sambil menunduk.

“Ah─” Hinata terkesiap ketika merasakan sapan lembut membelai pipinya. Dia mendongak dan menatap sepasang iris seindah safir tengah menatapnya cemas, “Ak... Aku ti... tidak... apa-apa, Naruto-kun.”

“Kau yakin?”

“I...Iya, aku yakin. Kau tenang saja.” Hinata tersenyum, membuat Naruto menghela nafas. “Baiklah, kalau begitu kita istirahat saja dulu di dekat sungai.”

“Ta...tapi, kita baru mendapatkan satu tumbuhan─”

“Tidak apa-apa. Pasti Sasuke-Teme sudah mendapatkan banyak tumbuhan. Sakura-chan pasti juga sudah banyak.” Jelasnya dan menuntun Hinata untuk beranjak ke tepian sungai.

Udara berhembus membelai mereka berdua. Membuai menuju angan yang mungkin tidak bisa mereka dapatkan. Sinar matahari perlahan mengintip dari sela-sela daun menghasilkan pantulan cahaya indah pada permukaan sungai.

Naruto dan Hinata duduk di tepi sungai di atas bebatuan yang rendah dengan permukaan air. Alas kaki mereka sudah dilepas dan kaki mereka dicelupkan di dalam air sungai. Rasa dingin campur segar seketika menjalar di seluruh tubuh. Angin kembali membelai mereka membuat mereka merasakan kenyamanan.

Cak...

Hinata tersentak ketika merasakan percikan air mengenainya. Dilihatnya Naruto sudah mencelupkan dirinya di dalam air dengan seringainya ia kembali memercikan air dengan kedua tangannya pada Hinata.

“Kau dari tadi melamun terus Hinata-chan . Kemarilah, lebih segar dibanding hanya mencelupkan kaki.”

Hinata menggeleng keras, “Aku ti...tidak..─ Kyaaaaa─” teriak Hinata terkejut saat dia sudah berada di dalam air bersama Naruto. Dia berbalik dan mendapati Naruto berdiri di belakangnya dengan seringainya.

“Na... Naruto-kun.”

“Ahahaha....” Naruto tertawa mendapati wajah terkejut Hinata.

Cak...

Naruto menghentikan tawanya ketika merasakan percikan air oleh Hinata dan bukan hanya sekali, bahkan berkali-kali.

Gadis itu terlihat bersemangat ketika menyiram Naruto. Ada tawa yang keluar ketika mendapati wajah memberenggut milik Naruto.

“Hahahaha... Kenna kau, Naruto-kun” Ucap Hinata sambil terus memercikkan air kepada Naruto.

Tak mau kalah, Naruto juga kembali memercik Hinata “Rasakan ini, Hinata-chan...”

Dan pada akhirnya, mereka saling menyiram hingga baju mereka basah barulah mereka menghentikan kegiatan itu.

Hinata kemudian berjalan menuju ke tepian, ingin kembali duduk di atas batu sambil menikmati udara segar yang berhembus. Namun karena menginjak bebatuan yang salah, kakinya tergelincir....

Buukk

Hinata terhenyak, tubuhnya gemetar, jantungnya berpacu kencang melihat batu yang hanya beberapa centi saja dari kepalanya. Rasa takut masih menjalar, jantungnya berpacu cepat, berkali-kali tarikan nafas cepat dia lakukan. Tangannya kemudian mengeratkan pegangannya pada tangan Naruto yang masih mendekapnya dari belakang.

“Kau tidak apa-apa, Hinata-chan ?”

Tanya Naruto. raut khawatir sangat jelas terlihat dari wajahnya.

Hinata belum bisa menjawab, dia masih shock dengan kejadian barusan dan dirinya masih berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Hingga beberapa detik kemudian barulah kesadaran mulai merambai Hinata.

Posisi mereka masih sama, Hinata cepat-cepat melepaskan dekapan Naruto. Sedikit menjauh mencoba menenangkan dirinya sendiri. Wajahnya memerah campuran rasa takut dan malu. Naruto memerhatikan, dan itu membuat Hinata jadi salah tingkah.
“Kau tidak apa-apa?”

Sekali lagi Naruto bertanya. Raut khawatir masih terpatri di wajahnya. Sungguh jantungnya juga ikut terpacu ketika melihat peristiwa barusan. Andai dia tadi tidak menolong Hinata tepat waktu, mungkin dia tidak akan bisa lagi melihat wajah merona gadis itu.

“A..a...aku ba..baik saja, Naruto-kun. Ja..jangan khawatir.” kata Hinata sedikit terbata lantaran sisa ketakutan dan kekagetannya masih ada.

Naruto menghela nafas legah─ walau masih khawatir dan sedikit marah. Dia kemudian membantu Hinata untuk kembali duduk di atas bebatuan, kembali menikmati semilir angin yang berhembus, menyegarkan tubuh mereka selepas bermain air, dan meluapkan rasa takut yang sempat merajai mereka karena kecelakaan yang hampir melukai Hinata.

“Hina-chan , kita pasti akan bertemu kembali”

Kembali ingatan itu hadir, entah mengapa mengisi kepala mereka tiba-tiba.

Hinata tersenyum, janji anak kecil itu sudah terwujud. Bocah laki-laki itu sudah menemuinya, melindungi, dan menjaganya. Mereka bersama sekarang, walau mungkin hanya bersisa dua dengan hari ini. Tetapi dia akan tetap menikmatiya, memanfaatkan waktu kebersamaan mereka yang hanya bersisa sedikit.

Di lain pihak. Wajah Naruto berubah seketika, wajahnya muram tampak sedih dan menyesal, ketika mengingat kilasan memori itu. Janji yang dia ucapkan pada sahabat kecilnya, gadis yang dia janjikan untuk kembali, nyatanya belum bisa dia wujudkan.



Dia masih mencari, dan bahkan tidak tahu pasti akan wajahnya. Tetapi dia akan berusaha untuk mencari tahu, dimana dan bagaimana dirinya saat ini.

Dan untuk sekarang, ada hal lain yang perlu dia lakukan, yaitu memanfaatkan dan menikmati waktu kebersamaan mereka─ dia dan Hinata yang hanya bersisa sedikit.

Lalu bagaimana dengan perasaannya tadi yang sangat ketakutan ketika melihat Hinata akan celaka tepat di depan matanya? Raut ketakutan yang jelas terpatri di wajahnya dan jantungnya yang berdegup sakit. Bukankah hal sama akan dia dapatkan ketika waktu mereka akan selesai?

“Aku pasti akan merindukan suasana ini.” kata Hinata tiba-tiba. Naruto tersentak mendengar gumaman lirih yang keluar dari bibir gadis itu. Dan ada airmata yang mengalir pelan lewat sudut matanya. Ditemani senyuman yang terlukis di wajah gadis itu.

Yah, dia juga berpikiran seperti itu. Apakah mereka bisa merasakan suasana seperti ini? Bisakan mereka berpisah tanpa ada air mata? Bisakah dia tetap bersama gadis itu walaupun dia sudah temukan gadis kecilnya?

Dan Naruto hanya bisa berharap seperti itu. Mungkinkah itu terjadi?


.
.
.
.
.

TBC

a/n : Hai... hai... maap yeh, lama update-nya. Moga kalian masih mau baca fict GAJE ini. Hehehe... seperti biasa alasannya sudah BAssSI. Bassi sangat... yah, apalagi kalau bukan kesibukan dunia dan KHAYALAN,,,, (Lebay...) >_< , tapi memang itu alasannya. Kalian juga pasti punya kesibukan sendiri, iya kan?, ah... abaikan, yang penting sudah UPDATE, walau lama.

BTW, tengkyu yang sudah nunggu ini cerita,,, dan maap lagi karena ternyata ENDING-nya berada di atas chapter 10, ternyata PENYAKIT Mickey belum hilang. PLIN PLAN nya parah banget, ya/gak? Tapi kalau endingnya di chapter ini, alurya bakal kecepatan, dan lagi kalian pasti akan nanya-nanya. Kok bisa begini atau lah kenapa endingnya GAJE atau apalah yang buat kalian penasaran bin gak terima, Mungkin.

Oke, sudah cukup cuap-cuap gak pentingya. Jangan lupa review yah dan tengkyu buat yang sudah mem-fave dan meng-alert cerita ini.
See U next chapter.

Share:

Monday, June 29, 2015

Real of The Princess

Hai... Minna, miki balik lagi nih dengan fict baru.
selamat dinikmati. ^,^

*Habis di edit.*

Pair: Naruto & Hinata
Rate: T
DISCLAIMER : NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
WARNING: AU,OOC, typo, alur Ga⎯Je dan lain-lain (suka-suka Mickey),
Real of Princess © Mickey_Miki


Summary :

Hal pertama yang orang-orang fikirkan ketika pertama kali melihatku, mungkin adl anggun dan lemah-lembut, terutama pada rakyatku. Tapi di mata ayahku, aku adalah seorang putri yang tidak bisa diandalkan berbeda dengan kakak dan adikku yg selalu membanggakan mereka. Namun ada satu hal yang mereka tidak ketahui tentangku. satu rahasia yg akan mengubah pandangan mereka padaku. 3 SHOOT
.
.
Real Of The Princess
.
.
.

Hal pertama yang orang-orang fikirkan ketika pertama kali melihatku, mungkin adalah anggun dan lemah-lembut, terutama pada rakyatku. Yah. Itu memang benar, karena sedari kecil aku sudah dilatih seperti itu. semua sikap yang harus kutunjukkan haruslah sesuai dengan aturan dan tata krama yang tertera di buku kebijaksanaan istana. Sangat membosankan bukan? Kau tidak bisa bertindak seenaknya dan kau harus selalu tampak sempurna di mata semua orang.

Tapi di mata ayahku, aku adalah seorang putri yang tidak bisa diandalkan berbeda dengan kakak dan adikku. Mereka memiliki banyak kelebihan yang selalu ayah banggakan. Di matanya mereka adalah sosok yang sempurna.

Kakak adalah seorang putra mahkota, calon raja─ pengganti ayahku kelak─ sekaligus seorang yang memimpin para jendral yang kemampuannya telah diakui dan sangat disegani bahkan dengan beberapa kerajaan lain─ sedangkan adikku dengan kemampuan diplomasinya banyak mendatangkan keuntungan bagi kerajaan, karena dirinya banyak kerajaan yang mau melakukan hubungan timbal balik dengan kerajaan kami.

Sementara aku hanya bisa diam dan mengikuti aturan kerajaan yang sangat membosankan tanpa bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa melihat apa yang mereka lakukan tanpa bisa membantu. Aku iri. Tentu saja. Bahkan sangat iri pada mereka. Aku juga ingin membantu, tapi ayah tak pernah mengijinkanku. Ayah menganggap karena sifatku yang lembut, aku akan sangat sulit memutuskan sesuatu dengan bijak bahkan kemungkinan akan memutuskan sesuatu yang salah dan menyebabkan banyak masalah. Memang bagaimana dia tahu, sedangkan dia tak pernah mempercayaiku untuk menangani sesuatu?

Aku merupakan putri dari kerajaan Hyuga dengan penampilan dan sifat yang hampir menyerupai ibuku, anggun dan lemah-lembut. Namun ada sesuatu yang tidak mereka ketahui tentangku. Tidak ada yang tahu di balik sifatku itu aku bahkan mampu mengalahkan hampir seratus prajurit kerajaan jika berada dalam suatu arena─ bertarung, kecuali guruku. Orang yang selama ini mengajarkanku ilmu pedang dan bela diri.

Selama ini aku selalu keluar istana dengan sembunyi-sembunyi tepat saat matahari telah kembali terbenam di ufuk barat, ketika seluruh rakyat termaksud Raja─ayahku beranjak menuju dunia mimpinya. Aku selalu keluar menuju hutan terlarang dan berlatih di sana bersama guruku yang selalu setia mengajarkanku tentang teknik-teknik beladiri.

Guruku adalah mantan jendral perang kerajaanku dulu. Dengan kemampuan serta taktik perangnya tak ada yang pernah mengalahkannya. Dia adalah seorang legenda yang keberaniannya telah dituliskan dalam buku sejarah padahal dia masih hidup.

Guruku merupakan orang terdekat ayahku. Orang yang sangat dipercaya oleh ayahku. Semua rahasia kerajaan termaksud rahasia pribadinya diketahui oleh guruku. Hebat bukan?

Setiap malam guruku selalu melatihku keras. Tidak peduli dengan diriku yang seorang putri bangsawan. Anak dari sahabatnya. Dia melatihku layaknya esok adalah hari terakhir untuk perang.

Tidak jarang, ketika pulang ke rumah, banyak luka dan lebam yang menghiasi tubuhku. Yang tentu saja tidak akan bisa dilihat. Berkat ajaran tata rias mendiang sang Ratu─ibuku aku bisa menyamarkannya dengan riasan. Aku akan kembali menjadi putri yang patuh dan lemah lembut jika sang surya telah kembali menerangi bagian tempatku berpijak.
...


~>0<~ 
.
Pagi menjelang dan mengharuskan aku untuk segera membuka kedua mataku. Aku tidak boleh menjadi seorang pemalas karena aku merupakan seorang panutan bagi rakyatku─walau pun mereka tidak mungkin ada melihatku di pagi buta seperti ini.



Kurentangkan tanganku kuat-kuat guna meregangkan otot-ototku yang kaku. Walau badanku masih sakit semua akibat latihan semalam, aku tetap tidak boleh menampakkannya. Memang latihan semalam lebih berat dibanding dengan latihan sebelum-sebelumnya.

Bayangkan saja, walau pun aku seorang gadis, guruku tak tanggung memberiku lawan tarung seekor binatang buas yang berada di hutan itu. Beruang yang bahkan ukurannya lebih besar tiga kali lipat dari beruang normal lainnya dan lagi tanpa senjata yang bisa kugunakan.

Guru memang kejam. Tidak tanggung-tanggung memberikan pelatihan bagi muridnya. Atau mungkin hanya aku saja yang diperlakukan begitu.

Tiap kali melihatnya melatih para prajurit kerajaan, tak sekali pun ku lihat dia menggunakan binatang untuk melatih mereka.

Aku jadi sedikit iri pada mereka. Bukan hanya cara pelatihannya, tetapi karena mereka latihan secara berkelompok dan aku hanya ditemani oleh bayangan malam dengan sinar bulan yang setia menerangiku, juga binatang-binatang buas yang berada di hutan terlarang. Bisakah aku menyebutnya tidak adil? Tentu saja tidak. Karena aku adalah seorang putri dan aku selalu diperlakukan berbeda.

“Hah” aku menghela nafas sejenak ku lirik seorang dayang yang sudah berada di depanku. Aku yakin dia sudah menungguku sejak beberapa menit yang lalu.

Ohime-sama air hangatnya sudah siap.” Ucap dayang itu sopan sambil menundukkan kepalanya. Aku heran kepada dayang itu. Sudah berulang kali aku mengatakan agar tidak perlu berlaku formal bila hanya berdua denganku, tetapi tak pernah dia hiraukan dan masih memanggilku dengan sebutan itu.

“Baiklah. Arigato Tenten-san. Kau boleh keluar.” Ucapku lembut dengan senyuman yang biasa ku tebarkan. Dia membungkuk lagi lalu keluar dan menutup pintu kamarku.

Selimut yang kugunakan segera ku sibakkan lantas berjalan ke arah cermin sebelum memasuki kamar mandi.

Tubuhku penuh dengan luka-luka kecil dan lebam. Terutama di bagian kaki dan tangan. Untung saja Tenten─ dayangku─ itu tidak melihatnya. Aku tidak bisa membayangkan reaksinya bila melihat ini.

Segera ku langkahkan kakiku masuk kamar mandi, melepas semua yang melekat di tubuhku. Sejenak ku hentikan langkahku tepat di depan cermin besar lantas melirik tubuhku. Banyak bekas-bekas luka akibat latihan semalam yang terpeta di punggung, dada dan kaki-kakiku. Semoga saja luka-luka ini bisa segera hilang. Aku tidak ingin ada orang lain yang melihat bekas ini apalagi ayahku. Entah hukuman apa yang akan diberikan padaku terlebih pada guruku. Mengingatnya saja buatku merinding.

Aku segera menuju efuro yang sudah disediakan Tenten lantas mencelupkan diriku dan menikmati sensasi yang ditimbulkannya. Aroma lavender─ aroma kesukaanku─ menguar dari bak air itu. Aroma yang selalu menenangkan diriku. Tubuhku menjadi jauh lebih rileks. Walau pun sedikit meringis kala luka-luka di tubuhku merasakan air mandi ini.


Aku sengaja menyuruh para dayangku menunggu di luar kamar dan mengerjakan hal lain selain menungguku. Tentu saja karena aku tidak ingin mereka melihat seluruh tubuhku yang dipenuhi luka-luka. Bisa gawat jika kondisi tubuhku sampai ke telinga Ayah─ walau itu menyimpang dari aturan kerajaan yang mengharuskan para dayang untuk selalu melayaniku termaksud mandi dan memakai pakaian.

Setelah selesai dengan ritual mandiku, segera ku langkahkan kakiku menuju kamar tempat baju yang sudah disediakan oleh para dayangku. Merias tubuh dan menyamarkan memar di wajah serta bagian tubuhku yang tidak tertutupi oleh gaun kebangsawananku. Aku bersyukur, semua gaunku tidak ada yang mengekspos bagian belakang tubuh, seperti pakaian-pakaian yang sering digunakan oleh Hanabi─adik perempuanku.

Aku melangkah menuju ruang makan tempat biasa keluargaku makan. Di sana sudah ada Neji-nii dan Hanabi-chan yang sudah duduk menunggu kedatangan Raja. Seperti biasa merekalah yang selalu berada di sana terlebih dahulu.

Ohayo, oni-sama, Hanabi-chan!” Sapaku pada kakak dan Hanabi.

“Hn..” Seperti biasa, kakakku yang satu itu hanya membalas sapaanku dengan sangat singkat dan tidak jelas.

Ohayo one-sama.” Jawab Hanabi.

Ayah datang dan duduk di kursinya kemudian acara sarapan pagi pun dimulai. Seperti biasa acara sarapan pagi keluarga kelajaan hanya diselingi keheningan. Dalam tata krama, dilarang keras mengeluarkan suara pada saat makan.

.
.
.

Hari ini seperti biasa. Hanya diselingi oleh kegiatan-kegiatan yang menyebalkan dan wajib kulakukan. Aku ingin malam cepat tiba, agar aku bisa latihan. Aku bosan jika harus melakukan kegiatan yang terlalu lembut seperti ini. menyulam, belajar tata krama, hukum kerajaan, pajak, dan hal-hal lain yang sangat membosankan. Lagipula buat apa aku melakukan ini semua toh ayah sepertinya tidak membutuhkanku di istana ini.

Salahkah aku jika menginginkan sesuatu yang luar biasa terjadi? Mungkin seperti perang. Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Sudah ada peraturan tentang pengendalian perang antar kerajaan, jadi tidak mungkin sesuatu yang seperti di khayalanku itu terjadi.

Ohime-sama. Anda dipanggil oleh Baginda Raja.” Ucap seorang prajurit penjaga yang memang biasanya diutus untuk menyampaikan pesan untukku.

“Baiklah. Aku akan segera ke sana. Arigato, ne?” balasku dengan senyum dan membuat pengawal itu bersemu merah.

Mungkin senyumku sangat manis, sampai-sampai pengawal itu bersemu. Banggaku dalam hati.
.
~>0<~
.

“Baginda!” Aku menunduk hormat kemudian mendongak menatap ayah di singgasananya. “Apa ada masalah, hingga baginda memanggilku?” Lanjutku bertanya lembut.

“Minggu depan calon suamimu akan berkunjung ke kerajaan ini, jadi persiapkan dirimu baik-baik! Dan jangan membuat semuanya berantakan.” Ucap ayahku memandangiku lekat-lekat untuk memastikan ucapannya sungguh-sungguh.

Haik.” jawabku.

Inilah yang paling aku benci menjadi seorang putri kerajaan. Selalu diatur-atur dan harus mengikuti semua peraturan termaksud dengan calon suamiku. Pernikahan antar keluarga kerajaan. Dalilnya untuk kemakmuran rakyat padahal menyimpan maksud terselubung di dalamnya. Aku tahu mungkin hanya ini yang bisa kulakukan. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membuatnya sedikit senang dengan keberadaanku.

Aku tidak tahu siapa dan seperti apa calon suamiku itu. Yang jelas dia adalah seorang pangeran. Walau mungkin bentuk tubuh dan wajahnya tidak sesuai dengan keinginanku, aku tetap harus menikahinya. Ah... Aku benci peraturan itu. Tidak bisakah aku menikahi pria pilihanku sendiri?

Tidak terasa langkahku membawaku ke dalam ruangan pribadiku. Ruangan yang menjadi saksi bisu semua kegiatan yang telah ku lakukan tiap malamnya.

Aku duduk di tepi ranjang, mendekap tubuhku. Mengingat-ingat semua kenangan dari masa kecil hingga sekarang.

Padahal dulu ayah sangat menyangi kami. Beliau adalah pribadi yang hangat dan selalu bercanda dengan kami─ anak-anaknya. Walau di depan bawahannya selalu dingin dan tegas, tetapi tidak jika sudah di hadapan kami. Dia selalu memberikan senyum kepada kami. Selalu menyempatkan diri bermain dan selalu melihat perkembangan kami.

Tetapi semuanya sudah berubah. Seolah masa lalu adalah sebuah mimpi yang tidak mungkin terjadi. Sosoknya yang dulu telah hilang. Sekarang dia tidak pernah lagi menampakkan sisi hangatnya. Dia dingin tak tersentuh.

Hanya Ratu yang bisa mengubahnya. Membuatnya kembali menjadi pribadi yang hangat dan lembut di depan kami. Tetapi sayang itu semua tak akan pernah terjadi. Sosok hangat ayah telah hilang bersamaan ketika Oka-sama dipanggil oleh Kami-sama.


*~> Hinata POV END <~*

Seperti biasa Hinata akan melakukan latihan ketika matahari telah beranjak untuk menyinari bagian belahan bumi yang lain. Kaki-kaki mungilnya melangkah dengan langkah yang sangat ringan, pelan, lembut, dan hampir tak terdeteksi. Dia melangkah seakan sedang berjalan di atas udara, benar-benar sudah terlatih.

Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru ruangan. Walau kebanyakan pencahayaan ruangan kerajaan tersebut temaram, namun Hinata dapat melihat dengan jelas.

Di depannya kini berjalan dua penjaga dengan tombak lancip yang mereka bawa. Tubuh tegap nan besar, mungkin bila dia masihlah seorang Hyuga Hinata yang lembut dan lemah, dia akan merasa takut, mungkin juga dia akan menangis karena terlalu takut.

Hinata kemudian bersembunyi di balik bayangan gelap pada dinding dengan pencahayaan yang temaram. Tiap latihan Hinata tidaklah menggunakan pakaian kebangsawanannya, dia hanya menggunakan pakaian layaknya seorang lelaki yang bekerja di kandang kuda dengan ukuran yang pas di tubuh tentunya.

Kedua penjaga itu sudah melewati dirinya, sama seperti melewati dinding yang lain. Hinata tak terlihat seperti angin yang biasa mereka hirup. Tak ada rasa curiga, atau pun tanda-tanda ketika menemukan penyusup. Mereka terus berjalan dan terus mengawasi, tanpa menyadari keberadaan Hinata yang baru mereka lewati.

Hinata bernafas lega. Walau dia yakin tak akan ketahuan, namun sebagian dari dirinya masihlah merasa takut. Takut jika ketahuan dan mendapat hukuman yang berat. Bukan, bukannya dia takut dipenjara atau dihukum pancung, namun yang lebih mengerikan adalah dia tidak akan lagi berlatih dan gurunya yang akan mendapatkan hukuman yang lebih mengerikan. Hal yang sangat ditakutkan oleh Hinata.

Kembali dijejakkan kaki-kaki mungilnya. Dia sudah berhasil melewati penjagaan pertama, tinggal dua penjagaan lain. Penjaga pintu masuk kerajaan dan penjaga untuk halaman kerajaan. Matanya kemudian berubah lebih tajam dengan urat-urat yang muncul di sekitar matanya. Byakugan─kemampuan yang hanya diwariskan oleh keturunanya─dapat melihat ke seluruh arah, walau gelap dan terhalang pun penglihatannya bisa menembusnya.

Sekitar sepuluh meter arah depan terdapat dua penjaga yang menjaga pintu masuk kerajaan, lima belas meter dari arah selatan beberapa penjaga sedang berdiskusi, dan tidak jauh dari mereka dari arah utara terdapat seorang penjaga di atas menara yang mengarahkan lampu suar.

“Sepertinya akan sedikit sulit.” Gumam Hinata.

Dia kemudian berlari dengan masih mengaktifkan Byakugan-nya, menghindar dari penglihatan para penjaga, dengan melempar sesuatu hingga menimbulkan sebuah bunyi dan membuat fokus para penjaga teralih sebentar yang tentu saja kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Hinata.

Setelah melewati penjaga pintu, dia kemudian langsung bersembunyi di balik tanaman bongsai besar mirip harimau. Para penjaga yang tadi berdiskusi tidak menyadari keberadaannya, dan sekarang dirinya sedang berfokus pada si pemegang suar yang dia arahkan terus-menerus. Ketika penjaga tersebut mengarahkannya menjauh dari Hinata, Hinata kemudian segera memanfaatkan kesempatan itu untuk cepat berlari dan bergegas menuju hutan terlarang.

Sekitar dua ratus meter dari kerajaannya dan jalan masuk hutan, dapat dilihat adanya sebuah penerangan dari lampu pelita yang digantung di salah satu pohon. Penerangannya memang temaram, namun itu semua tak berefek pada penglihatan Hinata yang bisa melihat layaknya ketika matahari menynari tempatnya tinggal.

“Kau terlambat Hinata!?”

Seorang yang Hinata yakini adalah gurunya muncul dan menegurnya. Sosok bertubuh besar dan kekar dengan tampang datarnya. Dialah Tobirama senju. Walau sifatnya seperti itu, dia tetap oramg yang baik, buktinya dia mau mengajariku beladiri.

“Maaf sensei!” Sesal Hinata. “Penjagaan telah ditingkatkan, jadi aku harus menunggu sedikit lebih lama. tidak mungkin aku memukul mereka hingga pingsan, bisa-bisa terjadi kekacauan dan aku tidak mungkin bisa datang latihan sekarang.” lanjutnya sambil menunduk.

Memang benar akhir-akhir ini penjagaan di sekitar kerajaan makin bertambah padahal tidak ada tanda-tanda akan adanya kekacauan, kudeta, perang, atau sejenisnya.

“Yah sudahlah... Pemanasanlah dulu!” Ucapnya seraya menyerahkan Hinata pemberat untuk kemudian dia gunakan, kaki, tangan, termaksud lengan atas, serta pemberat yang seperti rompi. Yang beratnya rata-rata tiga puluh kilogram dan rompi seberat enam puluh lima kilo gram.

Setelah semua perlengkapan pemberat digunakan, dia kemudian melakukan pemanasan. Mulai pemanasan ringan hingga yang berat. Kemudian memulai latihannya.


Sebuah pedang yang tajam dan terawat berada digenggamannya lantas dia gunakan untuk melakukan tarian pedang yang sudah diajarkan oleh gurunya dengan menambahkan beberapa gerakan. Seketika kayu-kayu berdiameter tiga puluh sentimeter tertebas menjadi beberapa bagian dengan potongan yang sangat halus.

Hinata kemudian memasang kuda-kuda untuk menyerang, memfokuskan pandangannya ke kayu lain yang akan dia tebas. Pandangan matanya tajam menatap kayu-kayu itu seolah kayu tersebut adalah musuhnya. Hembusan nafas pelan keluar dari mulutnya sebelum mengarahkan pedangnya ke arah kayu-kayu itu. Lagi-lagi kayu tersebut tertebas rapi dengan potongan yang halus.

Dia menghunuskan pedang tanpa merasakan beban yang berada di tubuhnya. Memotong layaknya sebuah pudding yang ingin dia makan.

“Kau sudah lebih baik menggunakan pedang. Gerakanmu sudah bagus, tak ada gerakan yang sia-sia dan sepertinya kau menambahkan beberapa gerakan dalam tarian pedang itu, tapi itu bagus. Kau sudah banyak perkembangan.” Ucap guru itu tiba-tiba.

“Ah... Benarkah?” Sahutnya. “Tapi aku masih merasa ada yang kurang sensei, tetapi aku tdak tahu itu apa.” Lanjut Hinata dengan raut bingung menghentikan semua gerakannya. “Aku sepertinya tidak merasa puas dengan hasilku itu─ Entahlah, aku hanya merasa ada yang kurang.”

“Mungkin kau membutuhkan seorang lawan yang hebat.” Sahut guru Hinata memperhatikan raut bingung gadis itu.

“Mungkin saja. Karena selama latihan, aku hanya menebas benda mati dan hanya melawanmu, juga melawan binatang buas hutan ini─ ah. Maksudku kau hebat guru, aku bahkan sulit mengalahkanmu, tapi, benar apa yang sensei katakan aku butuh lawan lain yang bisa memuaskanku.”

“Kalau begitu besok siang kau datanglah ke pelataran. Akan ada pertandingan tarung antar para petarung. Bergabunglah dengan mereka dan bisa saja kau akan mendapatkan lawan yang bisa membuatmu puas.”

“Memang bisa?”

“Kau tinggal menyamar saja. Aku akan membantumu.”

“Wah... benarkah.. Arigato sensei. Hontoni arigato. Kau yang terbaik.” Ucap Sakura berbinar. Pedang yang ia pegang terjatuh lantaran terlalu girang.

“Hn. Kita akhiri sampai di sini. Besok kau tidak usah datang latihan. Besok aku akan mempersiapkan segala yang diperlukan untuk perjalananku ke Utara, ke kerajaan Nara. Raja mengutusku ke sana menggantikan beliau. Mungkin sekitar satu minggu.” Ucap guru Hinata tiba-tiba sambil menyarungi pedangnya dan pedang Hinata.

“Hhhhh.... Kalau begitu selama seminggu aku tidak akan latihan?” Ujar Hinata sendu sambil memperhatikan gurunya dan melepas pemberat yang ia gunakan.

“Sudahlah! Hanya seminggu. Lagi pula tubuhmu juga membutuhkan istirahat. Jadi selama seminggu istirahatkan tubuhmu dan jangan datang ke sini untuk berlatih. Kau mengertikan Hinata!?” kata guru Hinata tegas. Berbaik memberikan Hinata tatapan tak ada penolakan dan bantahan.

Haik...” jawab Hinata tersentak. Bagaimana bisa gurunya tahu dia akan datang untuk latihan sendiri? Apa terlalu jelas di wajahnya?

“Kalau begitu pulanglah! Istirahat dan besok siang kau bisa ke pelataran untuk pertarungan nyatamu dengan orang lain. Aku akan membantumu.”

Haik.” Sekali lagi Hinata hanya bisa menuruti perkataan gurunya tanpa bantahan.
...

.
.
.

“Uh....” Keluh seorang gadis yang masih dalam posisi tidurnya, “kata sensei aku harus mengistirahatkan tubuhku. Bangun sebelum dayang datang dan membuat tubuh menghangat. Apa-apaan itu? Tidur saja tidak cukup dua jam dan sekarang harus membuat tubuhku menghangat, jelas aku tidak bisa tidur nyenyak. Aaaahhh....” dengan terpaksa Hinata bangun, mendudukkan diri dan menenangkan pikirannya.

Setelah dirasanya cukup, digerakan tubuhnya layaknya sedang meditasi. Kakinya dia sila-kan, dan kedua tangannya dia tangkupkan sambil memejamkan mata.

Perlahan hawa di sekitar tubuhnya berubah hangat lambat laun berubah panas. Bulir-bulir peluh berlomba-lomba bermunculan dan membasahi tubuhnya. Gaun tidur yang dia gunakan lambat-lambat basah akibat keringat yang terus keluar dari tubuhnya.

Perlahan Hinata membaringkan kembali tubuhnya, memakai kembali selimutnya, dan menunggu hingga dayangnya masuk ke kamar.

Selang beberapa menit seorang dayang memasuki kamarnya. Kembali Hinata memposisikan tubuhnya membaring dan mulai memerankan peran layaknya orang sakit. Menutup erat kedua mata dan membuat tubuhnya seolah tengah menggigil untuk meyakinkan dayang tersebut.

Hime-sama...~” panggil dayang itu.

Hime-sama...~” sekali lagi dia mencoba memanggil Hinata agar terbangun.

Tidak ada sahutan, dayang itu maju perlahan dan mencoba membangunkannya. Berfikir apakah boleh seorang dayang sepertinya boleh menyentuh putrid itu. pasalnya selama ini Hinata tak pernah mau disentuh oleh para dayang.

Kaki dayang itu semakin mendekat, hingga ia bisa melihat keadaan Hinata. Tanpa disentuh pun dayang itu tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Hime-nya itu. Dia terlonjak kaget ketika melihat tubuh Hinata yang penuh peluh serta sedikit menggigil. Disentuhnya tubuh Hinata dan ia pun semakin terkejut ketika merasakan tubuh Hinata yang menghangat. “Hi─astaga... Ohime-sama, badan anda panas sekali. Ap.. Apa yang terjadi?” Ucap dayang itu panik dan bergegas keluar mencari pertolongan.

Dirasanya dayang itu sudah tidak berada di dalam kamarnya, sebelah matanya perlahan mengintip dari kelopak mata.

“Hhhh...” hembusan nafas pelan keluar dari bibirnya, “dayang tadi mudah sekali dibihongi.” Kikiknya pelan.

Krieeet.....

Merasa pintu kamarnya dibuka seseorang, dia kembali memposisikan tubuhnya seperti semula.

“Aku tidak tahu kenapa Hime-sama seperti itu. Aku baru saja akan membangunkannya, namun tidak jadi, karena badannya panas dan menggigil.” Jelas dayang yang tadi dibohongi oleh Hinata.

“Apa keluarga kerajaan lain sudah mengetahui ini?” Tanya seseorang yang diyakini Hinata adalah seorang tabib. Ah.. mungkin saja orang itu adalah orang yang sama yang dimaksud oleh sensei-nya.

“Belum Nyonya.” Jawab dayang itu.

“Baiklah kalau begitu. Tolong kau keluarah dulu, aku ingin memeriksanya.” Titah tabib itu dan mempersiapkan perlengkapannya

Haik. Arigato gozaimasu.
...
...

“Kau boleh membuka matamu!” Pinta sang tabib kepada Hinata. “Aku orang yang dimintai Tobirama untuk membantumu Hime. Bertahanlah hingga keluargamu menghampirimu dan kau boleh tidur aku akan membangunkanmu sebentar.”

“Baiklah. arigato gozaimasu, Nona Tsunade dan panggil saja aku Hinata sama seperti sensei memanggilku jika kita hanya berdua.”

“Baiklah dan panggil aku Tsunade.” Potong Tsunade.

“Ah... Arigato Tsunade-san.” Ucapnya dengan senyum.
.
<~0~>
.

Hosh... hosh... hosh...

“Hm... Banyak ternyata yang datang. Kira-kira lawan-lawannya seperti apa?” Ucap seorang dengan tudung yang menutupi tubuhnya. Penutup kepala dari jubah yang dia gunakan membuat rupa wajahnya hampir tak terlihat. Mata almetish-nya melihat-lihat suasana di sekitar gedung. Dia tengah berdiri di depan sebuah bangunan mirip kolosium namun beratap untuk tempat duduk para penonton.

Pendaftaran pertandingan akan ditutup setengah jam lagi, jadi siapa saja yang ingin mengikuti pertandingan ini harap mendaftar sekarang juga. Baik para pasukan kerajaan atau pun untuk penduduk lokal dan luar kerajaan.


Terdengar pengumuman batas pendaftaran oleh seorang panitia, dia kemudian menjajakan kakinya lebih cepat agar tak sampai terlambat.

Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit berlalu dirinya bisa sampai pada tempat pendaftaran dan untunglah dia belum terlambat.

“Ano... Saya mau mendaftarkan diri sebagai peserta.” Ucapnya pada seorang yang bertugas mencatat para peserta pertandingan.

“Saya juga.” Timpal seseorang dengan tiba-tiba dari arah belakangnya. Seseorang yang memiliki rambut model spike orange dengan tiga garis horizontal di masing-masing pipinya. Iris birunya menampakkan raut cemas. Pakaian yang dikenakannya hampir mirip dengan Hinata namun tanpa tudung. Pakaian model seperti seorang peternak.

“Hah... Untunglah kalian masih sempat. Kalian hampir saja terlambat. Kalau begitu ucapkan siapa nama kalian.”

“Saya Hiruka.” Ucap seorang bertudung. Atau Hinata yang tengah menyamar menjadi orang lain.

“Saya Naruto.” Lanjut pemuda itu. Pakaian orange penuh peluh─mungkin karena berlari ke sini─ dengan pedang yang dia sampirkan di punggungnya. Pedang yang memiliki motif rubah pada pegangannya. Hitam dan orange merupakan perpaduan warna pada sarungnya dengan gambar rubah berekor sembilan. Pedang yang belum pernah Hinata lihat di kerajaannya.

Setelah pendaftaran, mereka kemudian berjalan masuk dan menunggu pengumuman tentang siapa lawan tanding mereka nanti. Lorong kolosium yang mereka jejaki nampak remang-remang, karena pencahayaan hanya berasal dari sinar yang masuk dari cela-cela dinding.

Entah sengaja atau tidak. Lampu-lampu yang biasanya digunakan sebagai sumber pencahayaan tidak digunakan. Mungkin ini salah satu tes dalam pertandingan ini, mengingat lorong dalam kolosium seperti labirin yang memungkinkan orang bisa saja tersesat dan mengurangi jumlah peserta.

Pintar sekali.

Namun bukan berarti Hinata akan tersesat. Walau dia tidak pernah datang dan memasuki lorong dalam kolosium itu dia tidak akan tersesat. Cukup mengandalkan indra pendengarannya dan penglihatannya dia bisa mengetahui di mana letak ruangan para peserta menunggu arahan selanjutnya.

Salah satu kelebihan dari keturunan Hyuga dan hanya dimiliki oleh turunannya adalah mata mereka yang bisa melihat tembus pandang. Selain itu, berkat latihan yang selama ini ia lakukan, semakin mempertajam indranya.

“Hai...” Sapa pemuda itu pada Hiruka─Hinata dan membuat fokusnya teralih pada pemuda itu, namun bukan berarti dia akan menatap pemuda itu. “Aku Naruto.” Ucapnya sambil menujurkan tangan kanannya.

Hinata diam tak membalas uluran tangan laki-laki di sampingnya itu dan hanya menatap kedepannya tanpa mengalihkan perhatiannya.

“Hah.. Kau dingin sekali. Aku hanya ingin mencari teman bicara. Aku tidak mau mati kebosanan menunggu pertandingan.” Keluhnya sambil mengamati keadaan di sepanjang lorong yang mereka tapaki.

‘Benar apa yang dikatakan pemuda ini, tapi jika aku meladeninya, bukan tidak mungkin dia akan mengetahui identitasku. Tapi kalau berdiam terus pasti akan membosankan. Lalu apakah aku harus menyapanya juga, tapi─ ah... astaga, kenapa aku jadi bingung sendiri sih. Ah sudahlah, biarkan saja dia berkoar sendiri, toh nanti juga dia akan diam jika bosan.’ Pikir Hinata seraya memperhatika jalan yang mereka lalui.

“Ah... Tidak lama lagi kita sampai.” Ujar Naruto tiba-tiba.

Hinata melirik laki-laki itu sekilas. ‘Apa dia mempunyai kemampuan yang sama sepertiku?’ pikirnya kemudian.

“Kau terlihat biasa saja. Apa kau tidak merasa gugup bertemu dengan petarung yang lain?” sekali lagi pemuda itu bertanya. tak memedulikan jika Hinata terganggu.

Hinata ingin sekali menjawab bahwa dia malah semakin bersemangat bertemu mereka. Dia sangat senang karena bisa bertemu dengan para petarung yang lain dan dia tidak sabar untuk segera bertarung tetapi mulutnya seakan terkunci, tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya sebagai jawaban. Kebiasaan dari pembelajaran yang biasa dia dapatkan membuatnya seperti boneka yang hanya akan menyahuti pertanyaan yang menurutnya penting. Tuntutan kerajaan memaksanya menjadi seorang putri yang anggun dan hanya bisa berbicara seperlunya saja.

Diam dan mengamati adalah prinsipnya. Sangat membosankan. Apa yang dipikirkan tidak bisa tersampaikan dan hanya bisa dipendam. Lagipula untuk saat ini dia pun tak boleh asal bunyi, menyahuti orang. Bukan tidak mungkin ada orang yang bisa mengenali suaranya dan membuatnya harus terkurung lagi dalam istana tanpa melakukan sesuatu.

Lima menit berlalu sepanjang perjalanan hanya diselingi oleh kata-kata Naruto yang tidak dipedulikan oleh Hinata. Dia hanya menanggapinya dengan diam. Walau sebenarnya ingin sekali juga berkomentar, tetapi karena prinsipnya─ atau mungkin kebiasaannya─ dia hanya bisa berdiam dan mendengarkan.

Pemuda itu pun diam sejenak karena melihat cahaya di ujung lorong yang mereka lewati. Hinata tidak merasa heran sama sekali, karena ia tahu apa yang menyebabkan pemuda itu jadi terdiam. Setelah lima belas menit berjalan dan melewati cabang-cabang lorong mereka akhirnya sampai.

Ada sedikit rasa senang yang mencuat dari diri Hinata ketika tahu bahwa mereka telah sampai. Itu artinya sebentar lagi dia akan bertanding dan bisa mendapatkan lawan yang bisa memuaskannya, tidak seperti hewan-hewan buas yang biasa dia hadapi di hutan terlarang. Yang walau mereka kuat, besar, dan buas, namun gerakannya sangat mudah terbaca dan dengan mudah dikalahkan oleh Hinata.

Mereka kemudian memasuki ruangan itu. Ruangan yang sangat besar─yang bahkan bisa menampung ribuan prajurit atau bahkan puluhan ribu. Banyak sekali peserta yang mengikuti pertandingan itu. Tak heran sih sebetulnya, karena hadiah yang ditawarkan sangatlah menggiurkan, satu peti emas yang bisa membuatmu kaya hingga tujuh turunan dan tidak hanya itu pemenangnya juga mendapat gelar penghormatan dari sang raja. Kurang apa coba?

Tetapi tak banyak juga peserta yang mengikuti hanya untuk menjajahkan kekuatan mereka terutama untuk menunjukkan kekuatannya pada kerajaan lain. Bukan hanya para tentara kerajaan Hyuga yang menjadi pesertanya, ada juga rakyat biasa dan petarung dari luar bahkan prajurit dari kerajaan lain pun ikut berpartisipasi.

....Karena pendaftaran telah ditutup, kami akan mengumumkan tata cara pertandingan ini. Pertandingan ini terdiri dari tiga babak. Dan masing-masing peserta akan dibagi menjadi empat grup Kalian bisa melihatnya sebentar...~

Sekian.

Berakhirnya pengumuman tersebut, membuat para peserta segera menuju tempat pertandingannya setelah sebelumnya melihat nama dan grup mereka.

“Kau masuk grup apa?” Tanya seorang pemuda yang sedari tadi mengikuti Hinata. “Ku harap kita tidak satu grup. Aku tidak mau melawanmu selain di babak final nanti.” Lanjutnya beserta dengan cengirannya yang berhasil membuat Hinata sedikit terpesona.

‘Tampan.’ Ucap batin Hinata tanpa sadar.

Sadar akan ucapannya tadi, segera digelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia terpesona kepada pemuda yang baru saja dia kenal yang bahkan akan menjadi lawan tandingnya nanti.

“Sepertinya kita tidak se-grup. Lihatlah namumu dan namaku berada di grup yang berbeda.” Sahut Hinata dengan mengubah suaranya.

“Hah... syukurlah. Aku harap kita bertemu di babak final nanti. Kau jangan sampai kalah yah!”

Hinata tak menjawab, tetapi mengangguk. Rasanya dia juga ingin melawan pemuda itu. intuisinya mengatakan laki-laki itu kuat dan bisa memuaskannya.


.
.

TBC

.
.

Hah… akhirnya chapter 1 di update. Kali ini mickey membuatnya dengan gendre yang berbeda. Fict ini terisnpirasi dari khayalan aneh yang di dapat dari toilet (malu =,=). Hahaha… ^o^ (cengir ala Naruto sambil garuk-garuk kepala), tapi jangan berpikir yang aneh-aneh -_-. Aku dapatnya juga pas mandi kok. Ah.. kalian pasti juga pernah merasa, kebanyakan dapat ide itu pada saat berada di Kamar mandi, hahaha... :-D, aku pernah dengar sih kalau di kamar mandi itu pikiran kita biasa fokus, jadi gampang dapat ide (tapi itu tergantung dari pribadinya masing-masing) >,<

Oh.. iya, pasti ada yang merasa merasa anehkan dengan deskripsi istana dan kerajaan serta pakaian yang Hinata pakai? maaf yah, karena aku gak mengambil dari referensi jadi mungkin agak membingungkan. Penggambaran kerajaannya seperti kerajaan eropa dulu, tapi aku gabungkan dengan dengan adat jepang (tapi karena tidak terlalu di ceritakan dalam fict ini jadi jangan terlalu dipirkan, yah... ^,^) nikmati saja ceritanya.

Dan kalau kalian ada yang merasa aneh dengan jalan ceritanya, jangan sungkan-sungkan untuk menuangkannya dalam kolom review. Aku sangat senang jika ada kritik, saran, atau bahkan yang lain yang bisa membantuku dalam hal penulisan dan penambahan ide untuk cerita kedepannya.

Akhir curhat, Mickey ucapkan terima kasih karena meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. moga gak membosankan yah.

Hehehe... “.<

Mind to RNR?

Next to chapter 2

Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com