Fly with your imajination

Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Wednesday, October 10, 2018

BECAUSE OF YOU

From WATTPAD Clinton Clive

TITTLE : BECAUSE OF YOU
BY : MICKEY139 DAN EPRAKOSO

SORT STORY

ENJOY IT





"Selamat pagi, semua."

Cengiran khas laki-laki itu terpatri di wajahnya ketika menyapa seisi kelas. Surai hitam melambai diterpa angin sepoi pagi yang berasal dari luar kelas. Wangi semerbak dari parfum yang dia gunakan menyebar, hingga masuk ke indra pembauku.

Tidak berubah, gumamku di sela-sela kegiatanku membaca novel.

Rasanya waktu berlalu terlalu cepat, secepat kereta api bergerak bahkan saking cepatnya nasibku tidak berubah-ubah. Aku masih mengaguminya namun tak berani menyapa. Sekalinya disapa, aku malah lari terbirit. Ah, nasibnya orang ansosial, terlalu pesimis sama orang lain, pikirannya negatif terus, padahal dia tidak berniat buruk. Laki-laki tukang cari masalah belum tentu jahat, kan?

Dan pertanyaannya, kenapa meski aku sudah tahu dia tukang rusuh, aku malah menyukinya? Padahal anak kecil pun tahu betapa bedanya sifat kami berdua, seperti air laut dan air sungai. Sangat berbeda.

Aneh, bukan?

“Johan?!”

Riki─ si tukang cari masalah nomor dua, sekaligus teman dekat Johan memanggilnya. Laki-laki itu menunjukkan poselnya lalu menyengir lebar, “Ada yang baru. Buruan!” serunya hingga membuat beberapa anak-anak cowok ikut mengerubunginya.

“Wih, Njirr. Lo dapat dari mana ni pideo?” Celutuk Johan yang dianggukan oleh teman-teman cowoknya yang lain.

“Ada dong. Makanya fasilitas sekolah dimanfaatkan. Hahaha..” sahutnya dengan bangga.

“Eh... eh... gila gede banget lagi, gue juga kepengen... gimana caranya tuh?”

"Ngocok aja terus. Lima kali sehari, dijamin dah punyo lo juga bakal gede."

"Seriusan?"

"Gue juga kayak gitu kali, makanya punya gue besar. Mau lihat gak lo?"

"Bego lo."

"Kampret."

"Diam Njir, gue masih mau nikmatin ni, sebelum guru datang."

"Ck, oke."

"Buju buset, toketnya men, gede banget. Gimana rasanya tuh dinenen."

"Kampret, berisik lo. Lo mau kita ketahuan, hah?"

"Refleks, Men. Gue baru lihat yang gede kayak gitu. Cewek gue aja gak segede gitu."

"Gue laporin lo ke Tina."

"Eh... eh jangan dong."

Lalu mereka tertawa dan membuat seisi kelas menatap mereka penasaran namun tak ada yang menghampiri mereka.

Aku tidak tahu video yang mereka maksud itu tentang apa dan aku tidak ingin tahu. Aku lebih tertarik pada novel mistery yang kemarin ku beli dari online shop. Novel ini jauh lebih menarik ketimbang mencari tahu tentang apa yang mereka lakukan, minus Johan tentu saja.

Tidak lama berselang, guru masuk dan membubarkan paksa grup cewek-cowok yang tadi saling membentuk kelompok dan hanya beberapa menit kemudian guru memulai ritualnya.

Mungkin di dunia ini hanya ada tiga dari puluhan murid yang berada di dalam kelas yang mau menyimak pelajaran yang menurut mereka membosankan, mungkin juga hanya ada belasan murid dari puluhan murid di dalam kelas yang tidak akan tidur jika diterangkan pelajaran sejarah layaknya lululabi yang di dendangkan oleh pianis jenius.

Dan sepanjang penglihatanku riset konyol dadakan itu memang benar. Tak sedikit murid cowok di kelasku yang tidur lalu dihiraukan oleh guru dan tidak sedikit pula murid cewek yang lebih memilih melanjutkan acara gosip mereka yang tertunda tadi di grup medsosnya. Guru sejarahku tetap saja masa bodoh dengan perilaku rekan-rekan sekelasku.

Rekan?

Yah rekan. Kalian tidak salah baca. Murid-murid kelasku memang kusebut sebagai rekan dan bukan teman. Tentu saja bukan tanpa alasan, mungkin jika kalian menjadi salah satu di antara mereka, kalian juga tidak akan ingin menjadi temanku atau bahkan mengenalku.

Tidak ada satu orang pun yang ingin mempunyai kenalan seorang yang dikutuk.

Tapi tenang saja, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Dijauhi, dicibir, bahkan dianggap seperti kotoran pun tidak akan membuatku sedih.

Semuanya sudah biasa.

Aku memejamkan mata dan menghirup udara kelas yang berubah pengap bercampur keringat juga berbagai jenis bau parfum sambil mencoba menetralkan diriku. Kembali pada realita dan memfokuskan diri pada materi yang dijelaskan oleh Guru.

...

Hari sudah menjelang sore ketika aku tiba di rumah. Hanya ada keheningan dan kegelapan yang menyambutku pulang. Tidak ada siapapun bahkan seekor jangkrik sekalipun.

Aku kemudian menyimpan sepedaku di bagasi kecil di depan rumah lalu mencari tombol untuk bisa membuka pintu. Beberapa detik mencari, akhirnya aku menemukannya. Hanya berselang tiga detik setelah tombol itu kutekan, dinding di depanku bergeser dan menampakkan pintu rumah biasa yang dengan mudah bisa dibuka.

Rumah ini sangat keren, kan?

Tapi kalau orang-orang melihat tempat tinggalku ini dari luar, rumah ini malah seperti gudang penyimpanan barang-barang yang ditangguli bebatuan tanpa pintu masuk dengan tumbuhan yang merambat menutupi hampir semua tanggulan─ dari pada rumah pada umumnya. Bentuk dan isi dalamnya saja berbeda, hanya beberapa saja yang sama, termasuk kamar tidur, dapur, dan ruang tamu, selebihnya berupa ruangan tak terpakai, koridor yang banyak memiliki perangkap dan juga beberapa jalan rahasia. Rumah ini benar-benar seperti benteng pertahanan dan aku sangat yakin, tidak akan ada seorang pun yang ingin masuk untuk kedua kalinya kemari. Keren, kan?

Aku sungguh salut pada arsitek yang sudah merancang rumah ini. Entah apa yang ia makan hingga otaknya bisa membuat rancangan seperti rumahku.

Oh betewe, sebenarnya aku sudah tidak punya orang tua, pun dengan sanak saudara. Jadi aku hanya hidup sendiri di rumah ini bahkan di dunia ini. Satu-satunya keluarga yang kumiliki sudah meninggal dua tahun yang lalu. Dia adalah kakekku, satu-satunya orang yang sangat kucintai sekaligus orang yang sudah mewariskan rumah ini padaku.

Aku menghembuskan nafas lelah, lalu berjalan masuk dan menyalakan saklar lampu. Duduk di sofa untuk beristirahat sejenak sebelum berbenah diri dan pergi melakukan pekerjaanku.

Hidup sendiri itu harus bisa menghidupi diri sendiri. Mandiri dan tidak tergantung pada orang lain juga tidak suka mengeluh.

Tapi, kalau capek, boleh lah mengeluh. Hahaha...

...

Ah, segar, adem, dan enak.

Tiga kata yang mewakili apa yang kurasa saat ini. Memang benar kata orang, pengalihan terbaik dari rasa lelah adalah dengan mandi air hangat yang sudah diberi wewangian aroma terapi. Selain membuat tubuh ringan, perasaan nyaman, juga otak jadi rileks.

Dan hal berikutnya yang bisa membuat lelah kita berkurang adalah dengan mengisi bahan bakar perut alias makan makanan enak dan mengenyangkan.

Eh, tapi kalau kupikir kembali, bukankah bahan makanan di kulkas sudah habis? Ish, sial. Harus keluar belanja deh.

Malas sekali keluar ke minimarket, meski dekat tapi di sana berdekatan dengan tempat nongkrong anak-anak berandal. Aku tidak mau mereka mengejekku.

Tapi, kalau tidak pergi, aku akan kelaparan sampai besok dan semua kerjaanku bakalan berantakan. Aku tidak akan dapat bayaran. Dan kalau aku tidak dapat bayaran, uang sekolah, uang makan, dan uang untuk kebutuhan sehari-hariku tidak akan ada.

Aaaah, sial. Inilah yang tidak kusukai dari hidup sendiri, apa-apa harus mandiri, tidak bisa meminta tolong pada orang lain. Meski tidak bisa, harus dibisakan.

Dengan helaan nafas kecil, aku keluar untuk membeli bahan makanan. Terpaksa.

...

Aku menggeleng kepala ketika melihat belanjaan di kasir. Tanpa sadar, ternyata hampir semua barang beranjaanku adalah makanan kemasan yang mungkin tidak baik untuk kesehatan jika dijadikan kebutuhan perhari, seperti indomie, bakso, sosis, dan daging kemasan. Enak sih, tapi hanya sesaat, selanjutnya jadi bahan penyakit.

Ah, tapi mau bagaimana lagi? Memang makanan seperti apa yang lebih baik, kalau aku saja tidak memiliki banyak waktu untuk meracik masakan? Pesan delivery? Bahkan makanan yang aku pesan dua tahun lalu, tidak kunjung sampai.

“Empat ratus lima puluh sembilan ribu, Mbak.” Kata mbak kasir menyentak lamunanku.

Aku menghela nafas, kembali melihat barang belanjaanku. Padahal semuanya hanya makanan kemasan, tapi harganya setara dengan harga RAM delapan GIGA, astogeh. Sepertinya pemilik minimarket ini ingin segera naik haji, makanya harga barang-barangnya mahal.

Tanpa menunggu ditegur, aku segera mengeluarkan nominal uang untuk membayar kasirnya. Untung saja sebelumnya aku punya firasat tidak enak jadi aku membawa uang lebih, meskipun lebihnya hanya seribu.

...

"Masih berani lo lawan gue?" samar-samar aku mendengar suara bentakan tidak jauh dari jalanan tempatku mengayuh sepeda . Abaikan saja, batinku memerintah. Yah benar, sebaiknya aku mengabaikan mereka, dari pada aku terlibat masalah. Lagipula aku kan bukan tokoh cewek kuat dan jago beladiri seperti dalam novel action, aku hanya seorang hacker yang kerja di dalam ruangan kecil.

"Apa lagi mau lo? Hah! Impas dengan apa yang Rey lakuin ke Dongok!"

DEG.

Tapi suara itu sangat mirip dengan suara Johan. Atau jangan-jangan itu memang suaranya. Apa dia sedang ada masalah? Apa dia dikeroyok oleh anak-anak berandalan?

Sialan. Aku tidak mungkin hanya berdiam diri di sini.

Tanpa membuang waktu, aku mengayuh sepedaku untuk lebih dekat dan memarkirnya agak jauh dari tempat mereka. Berjalan mengendap hingga sampai pada posisi pas untuk mengamati.

"Kagak ada yang impas. Lo yang cari masalah dulu sama Rey. Lo bunuh adeknya. Sekarang lo bunuh juga Rey. Gue nggak terima dengan sikap bajingan lo!"

Apa maksud dari ucapannya?

Tidak mungkin Johan membunuh. Meskipun dia berandalan dan tukang cari masalah, dia tidak akan sampai membunuh orang. Orang itu pasti salah dan hanya menuduh-nuduh. Seorang berandalan akan selalu mencari masalah, bukan?

"Bukan salah gue!" Bantah Johan membuatku kembali fokus pada mereka. Suara Johan sudah mulai parau. Astaga, sepertinya luka-luka akibat pukulan mereka yang menyebabkan itu.

Kakiku mulai gatal untuk menghampiri mereka. Aku ingin secepatnya menolong Johan, tapi aku juga tidak mungkin gegabah dan menyetor nyawa suka rela. Aku harus punya rencana atau minimal sesuatu yang bisa menolongku.

Drrrtt.

Ponselku bergetar. Satu panggilan masuk tapi tidak kupedulikan. Paling-paling dari client yang ingin menanyakan pekerjaanku atau mungkin client baru yang ingin menggunakan jasaku.

Sesaat pandanganku beralih pada ponselku yang terus bergetar mengganggu. Orang ini benar-benar tidak  tahu situasi. Buru-buru aku mematikannya dan mengirim pesan, jika aku sedang sibuk dan tidak ingin diganggu. Dan saat pendanganku kembali, kulihat salah seorang dari mereka maju. Tongkat bisbol yang ada di tangannya mulai melayang.

Oh Tuhan, tidak. Aku tidak bisa lagi menahan diriku untuk tetap menonton mereka dari sini.

Tanpa sadar kakiku sudah melangkah mendekati mereka. Beberapa dari mereka sudah sadar akan kehadiranku dan sudah menyiapkan ancang-ancang menyerang jika aku melakukan tindakan bodoh.

Tapi, kau sudah melakukan tindakan bodoh, Rere.  batinku mengejek.

"Kamu cuma berani lawan orang lemah?"

Oh Tuhan Rere, apa yang kau lakukan? Dasar bodoh, tolol, goblok. Kau benar-benar ingin mati yah?

Tapi, setidaknya aku berhasil menghentikan serangannya pada Johan, aku membela diri.

Laki-laki yang tadi ingin memukul Johan berhenti dan menatapku. Aku benar-benar takut di tatap seperti itu oleh mereka. Berdiri di depan mereka saja sudah membuat kakiku gemetaran apalagi jika mereka maju dan melayangkan alat-alat yang ada di tangan mereka.

"Re... Re..." kulihat Johan, tubuhnya benar-benar sudah babak belur. Banyak luka yang  tercetak, termasuk luka pada wajahnya yang masih mengeluarkan darah.

Mereka benar-benar keterlaluan.

Tidak berapa lama, tubuh Johan benar-benar ambruk. Tubuhku semakin gemetar, panik juga takut. Aku sangat khawatir pada keadaan Johan, tapi aku juga tidak bisa menolongnya tanpa memedulikan mereka. Lagipula aku keluar tanpa persiapan. Melirik sana sini pun percuma, karena tidak ada yang bisa dijadikan sebagai penolong. Tidak ada orang yang berlalu lalang, tidak ada batu atau kayu yang bisa kulemparkan pada mereka.

Tuhan, kumohon tolong kami. Aku benar-benar tidak ingin berakhir tragis di sini, apalagi di tangan mereka.

Setelah merapalkan doa itu, tiba-tiba sebuah pertolongan datang. Bukan dari manusia atau malaikat, bukan juga dari setan dan sejenisnya. Tapi dari ponsel yang sedari tadi kugenggam. Getarannya membuatku mendapatkan satu ide.

Aku menatap laki-laki itu sengit, mencoba terlihat berani di depannya. "Aku pegang video kalian yang lagi berantem. Kalau besok kesebar gimana?” kataku sambil menatap wajah mereka satu-satu. Bisa kulihat jika keraguan dan ketakutan mulai menyelimuti mereka.“SMA Taruna Bangsa yang katanya sekolah unggul. Berbudi pekerti luhur.Dan katanya juga murid-muridnya penuh prestasi. Meyimpan bibit pembunuh kayak kamu? Wow, berita besar ya, 'kan? Dan kemungkinan besar bakalan jadi viral." lanjutku.

"Jangan coba-coba atau lo mati!" ancamnya penuh tekanan. Dan aku tidak mungkin menampakkan rasa takutku pada mereka. Jangan harap kami bisa kabur jika aku melakukan itu.

"Dan kalian akan berakhir lebih tragis." jawabku sengaja menekan tiap kata. Mantap.

Tapi dia tidak gentar. Malah aku melihat seringai jahat yang ia terbitkan. Dan saat sadar, aku sudah terlambat. Seseorang sudah siap menyerangku. Yah, aku yakin jika aku juga akan berakhir jika Johan tidak cepat merengkuhku dan menjadi tameng dari serangan mereka.

"Urusan lo sama gue Gam! Jangan sangkutin Rere!" ucap Johan di sela-sela kesadarannya. Aku yakin jika ia sebenarnya sudah tidak kuat dengan luka-luka yang ia dapat namun ia tetap menolongku.

"Wow, lo pacaran sama Johan? Selamat membusuk di neraka sayang, serang lagi!"

DEG.

Tidak. Aku tidak mau. Kami tidak akan berakhir, brengsek, teriakku dalam hati ketika melihat tongkat bisbol yang terabaikan. Secepat kilat aku mengambilnya dan langsung memukul mereka secara membabi buta dan tidak terarah.

Melihat kesempatan kami bisa kabur, aku benar-benar memanfaatkannya. Secepat kilat aku menarik Johan untuk berlari dari sana, mencari tempat keramaian supaya kami bisa ditolong oleh orang-orang.

***

Seminggu setelah kejadian itu, sikap Johan berubah. Ia jadi lebih perhatian, selalu berusaha mendekatiku dan mengajakku ngobrol. Bahkan tak jarang ia mengabaikan teman-temannya hanya untuk bersamaku. Walau biasa kutolak, tapi ia tetap keras kepala. Alasannya pun bermacam-macan, mulai dari alasan yang bisa diterima hingga alasan-alasan konyol yang dibuat-buat.

Aku senang. Tentu saja. Semua orang juga akan merasakan rasa senang ketika cowok yang ia taksir berubah perhatian padanya. Tapi kalau mendadak seperti ini, jujur saja aku belum siap. Terlalu banyak pertimbangan yang mesti kupikirkan termasuk pandangan aneh orang-orang yang melihat sikap tidak biasa Johan. Bukan hanya namaku saja yang bertambah buruk, namanya juga ikut-ikutan memburuk. Ia sudah punya label sebagai siswa berandalan dan tukang onar di sekolah entah apa lagi yang akan ia terima jika dekat-dekat denganku.

Aku tahu ia tidak akan ambil pusing dengan pandangan orang-orang padanya. Lelaki cuek sepertinya tentu saja akan lebih mementingkan apa yang ia sukai dari pada memusingkan pendapat orang terhadapnya. Tapi aku tidak bisa.


“Eh, lo pada sadar gak, kalo akhir-akhir ini Johan jadi aneh?”


“Iya Ta. Lo benar. Dia berubah. Dia gak pernah lagi ngegombalin kita. Kemarin aja nih, masa kita sudah sengaja tungguin dia di depan kelas, sudah pasang muka-muka cantik nan imut, malah diabaikan. Padahal biasanya dia berhenti, terus ngegombalin. Eh, parahnya lagi dia malah ngejar si Rere. Riki aja sampe bengong liatnya.”

“Ntu si Rere pake pelet apaan yak? Kok bisa-bisanya Johan jadi klepek-klepek sama dia sampe segitunya.”

“Ra kalau pelet mah kaga sampe segitunya kali. Kayaknya itu kutukannya deh. Dia kan terkenal banget sebagai anak terkutuk. Ih, gue jadi merinding.” 

“Eh, udahan yuk ceritanya. Kali aja si Rere dengar terus mengutuk kita─”


Seperti kataku tadi, kenapa aku tidak suka jika Johan dekat-dekat denganku di sekitar sekolah adalah ini. Gosip. Gosip gampang menyebar seperti spora yang diterbangkan oleh angin, sangat cepat. Untung saja tadi aku berhasil lolos dari Johan sehingga kami tidak akan terlihat bersama saat ini. Aku tidak yakin gosip apalagi yang akan kami dapatkan jika hal itu terjadi.

Aku tahu, jika Johan saat ini tengah menungguku di depan sekolah karena sudah tahu dengan kebiasaanku dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk bisa bebas darinya hari ini.

Yah, selagi dia menungguku di depan sekolah aku menyelinap keluar lewat lubang pagar belakang sekolah.

Katakanlah aku bodoh atau tidak memiliki otak karena menolak rejeki yang sudah disuguhkan di depan hidungku, tapi lebih baik begitu dari pada terus ditempeli Johan dan membuatku tidak nyaman sekaligus merasa bersalah karena terus membohonginya. Laki-laki itu benar-benar memiliki rasa penasaran yang terlalu berlebihan. 

Tapi, omong-omong sedari tadi kenapa perasaanku mendadak jadi tidak tenang. Sepanjang jalan aku merasa seperti seseorang tengah membuntutiku. Namun tiap menengok ke belakang, tidak ada seorang pun yang mencurigakan. Walau jalan yang kulewati lebih sepi tetap saja perasaan itu masih ada.

Apa dia penjahat yang ingin merampokku? Atau jangan-jangan orang itu adalah orang yang sudah kucuri data-datanya hingga dibuat bangkrut oleh saingannya dan ingin membalas dendam padaku.

Mati aku. Aku tidak ingin berakhir tragis seperti seorang tokoh wanita dalam film thriller yang dibunuh oleh seorang psikopat gila.

Aku mempercepat langkah kakiku hingga tersisa beberapa meter sebelum sampai rumah. Aku sudah tidak peduli jika ada orang yang tahu keberadaan rumah ini, toh mereka juga tidak bisa masuk sesuka hati karena banyaknya jebakan yang ada di dalam rumah. Sampai di dalam rumah, aku benar-benar menari kegirangan karena rasa legah luar biasa.

Sial. Tadi itu benar-benar mengerikan.

...

Habis mandi, aku merilekskan diriku dengan minum green tea dan cemilan sambil melihat bintang di rooftop. Tapi belum ada semenit, bunyi ponselku berbunyi. Menyebalkan. Tidak adakah waktu istirahatku, barang sehari?

‘Barangmu sudah selesai.’

Satu pesan dari tukang servis, mengharuskanku untuk segera menghampirinya. Alat yang dia perbaiki adalah alat yang benar-benar kuperlukan sekarang.

Setelah bersiap yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih dari sepuluh menit, aku bergeges pergi. Namun,

"Kamu... Kenapa di sini?"

Mendadak langkah kakiku behenti setelah melihat Johan di depan rumahku. Jadi inilah yang membuat perasaanku sepanjang jalan tadi tidak enak? Johan dengan rasa penasarannya membuntutiku seperti seorang psikopat gila. Membuatku parno sendiri dengan spekulasi-spekulasi mengerikan yang bermunculan di kepalaku.

"Kamu tinggal di sini?" bukannya menjawab ia malah balik bertanya, "Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan. Ini bukan di pengadilan. Dan kamu bukan pengacara!" hardikku.

"Maaf, aku penasaran denganmu. Aku ingin tau tentangmu. Kenapa kamu menyembunyikan kehidupanmu? Kenapa...."

"Bukan urusan kamu Johan! Kehidupanku bukan untuk kamu ketahui. Urusi dirimu sendiri Johan!" aku tidak bisa menerima apa yang dilakukan Johan ini. dia sudah melangkah terlalu jauh hanya karena rasa penasarannya.

"Re, kamu bisa bersikap hangat denganku. Bisa menunjukkan sisi yang lain dirimu. Tapi kenapa kamu menutupinya di sekolah. Bahkan kamu kembali lagi seperti ini sesaat setelah kamu menjungkir balikkan hatiku. Memporak-porandakan duniaku. Aku punya hati Re meskipun sikapku lebih bisa di bilang bajingan. Tolong, jangan jauhi aku. Aku membutuhkanmu!" sahutnya balik. Jujur saja, kata-katanya barusan membuat sesuatu berdesir di dalam diriku. Rasanya hangat dan menyenangkan.

Selama ini, aku hanya tahu kalimat memanfaatkan setelah kakek meninggal dan mendengarnya membutuhkanku, membangkitkan perasaan yang sudah lama mengendap bahkan sudah kulupakan.

Tapi,

"Tidak. Kehidupanku sulit kalian pahami. Kehidupanku tidak untuk kalian. Duniaku kejam Johan. Aku tidak ingin melibatkanmu dalam urusanku. Meskipun aku... Aku... Aku juga menyukaimu. Tolong pahami itu!" ucapku memohon. Aku memang menyukainya, namun aku tidak bisa. Terlalu banyak perbedaan di antara kita.

"Re....."

"Stop, sudah kubilang jangan paksa aku. Aku pergi dulu. Ku harap, mulutmu bisa di percaya untuk tidak membocorkan apapun atas kejadian malam ini. Aku permisi Johan," potongku cepat dan secepat kilat pergi dari hadapan Johan.

****

"Rere..."

Aku menghela nafas ketika sapaan itu masuk ke indra pendengarku. Johan kenapa keras kepala sih?

"Apa?" tanyaku.

Ada rasa bersalah saat melihat wajahnya yang kuyu. Matanya yang dihiasi mata panda juga penampakannya yang tidak seperti biasanya.

"Bisa aku bicara?" tanyanya hati-hati.

"Kapan?"

"Sekarang, sebelum anak-anak datang, mungkin. Tapi... Itu... Hmm... Maksudku..."

"Apa yang ingin kamu ketahui dariku Johan?" potongku cepat, aku benar-benar tidak ingin kami dilihat berdua oleh murid-murid sekolah ini.

"Maaf jika aku terlalu memaksamu. Tapi, aku.. Aku masih penasaran denganmu. Sikapmu bertolak belakang. Dan ingat, aku punya hati. Setelah kamu memporak-porandakannya. Tak lantas aku akan melepasmu dengan mudah," sahutnya.

Aku memejamkan mata, berusaha menekan perasaan salahku karena sikap dinginku. "Sudah kuduga akan seperti ini. Bisa kita berbicara di tempat yang lebih privat? Aku merasa terganggu apabila ada satu dua murid yang lewat. Apalagi melihat mu sedang berbicara denganku. Bukan pilihan baik,"

"Ke loteng sekolah mau?" tawarnya.

Aku tidak menyahut melainkan langsung melenggang terlebih dahulu ke arah loteng sekolah. Aku ingin ini segera berakhir. Secepatnya.

Tiba di atas loteng aku tidak membuang waktu dan langsung menyakan keinginannya. "Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan. Tapi jangan paksa aku untuk menjawab semuanya. Aku akan memilah mana yang sekiranya ingin kujawab. Dan mana yang tidak,"

Dia menatapku lama sambil berpikir dan tidak berapa lama dia pun menyahut, "Siapa kamu sebenarnya?”

Pertanyaan yang tidak kuinginkan. Walau begitu aku tetap menjawabnya.

"Aku? Aku Rere. Gadis yang punya dua kehidupan. Kehidupanku ada di planet realita dan ada di balik layar. Ketika aku ada di planet realita. Seperti inilah tampilanku. Menyebalkan dan membosankan. Tapi ketika aku di balik layar. Semua terasa beda. Dan aku yakin, tanpa ku jelaskan lebih lanjut. Kamu tau apa maksudku..."

Sejenak aku menatapnya, melihat bagaimana reaksinya. Tapi ia tetap diam dan aku pun melanjutkan penjelasanku.

"Ya, seperti yang ada dalam benakmu Johan. Aku bukan gadis polos seperti apa yang kamu bayangkan. Aku Rere, seorang hacker kelas kakap. Aku bekerja untuk diriku sendiri Johan. Aku hidup sebatang kara. Dan kehidupanku sangat miris. Rumah yang ku tempati adalah hasil jerih payahku sendiri. Ayah ibuku meninggal dua tahun lalu karena pekerjaannya yang sama denganku. Dan ketika aku membuka rahasia ini kepadamu. Aku pun bersiap mati. Bernasib sama seperti mereka. Tapi aku percaya padamu Johan. Ku harap, aku tidak salah menilai seseorang."

"Re... Aku..."

"Sudah ku bilang. Kehidupan kita berbanding terbalik Johan. Cukup kamu tau bahwa aku menyukaimu. Salah, aku mencintaimu. Tapi jangan usik kehidupanku yang kejam. Satu lagi, lupakan rasa cintamu padaku. Karena harapan untuk bersatu adalah pikiran konyol. Aku tidak ingin kamu terlibat di dalamnya. Aku..."

Aku tersentak dengan mata terbelalak kaget saat tiba-tiba Johan memelukku. Ini yang pertama dan rasa nyaman ini adalah perasaan yang sudah lama hilang dari diriku. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak ingin Johan ikut terperosok masuk ke dalam dunia gelapku. Dia masih memiliki orang-orang yang membutuhkannya. Tidak seperti diriku. Seorang gadis terkutuk yang hanya berteman dengan gelap dan kesendirian. Tidak akan ada yang perduli padaku.

"Re, jangan anggap remeh aku. Aku sanggup menemani kamu selama aku bisa bernafas. Aku sanggup menemani kamu selama kamu mau dan mengijinkan. Re... Tolong beri aku kesempatan," pintanya lirih.

Tidak. Aku tidak bisa. "Tidak. Jangan memaksakan diri. Kehidupanku terlalu kejam Johan. Biarkan saja kita saling tau. Selebihnya biarkan Tuhan yang mengatur. Untuk sekarang ini, kumohon jangan paksa aku. Biarkan aku bebas dengan kehidupan kejamku," jawabku sambil melepaskan diri dari pelukannya.

Aku menatapnya nanar lalu mundur bebepa langkah, "Johan, aku mencintaimu. Itu urusanku. Jangan terbujuk untuk hanyut bersamaku. Masih banyak wanita lain yang kehidupannya normal. Pilih mereka. Hanya satu yang perlu kamu tau. Sekali aku mencintai seseorang. Selamanya akan begitu," lanjutku sebelum benar-benar meninggalkannya sendiri.

"Re... Pegang janjiku. Kita akan bersatu. Entah sekarang atau nanti. Entah besok atau lusa. Dan jangan ragukan aku. Rahasiamu aman padaku Rere. Terima Kasih sudah mencintaiku. Yang notabene-nya hanya seorang troble maker sekolah,"

Aku terus melangkah, tidak peduli pada ucapannya yang sudah menggelitik batinku, karena sekali berbalik, keputusanku untuk menjauh darinya akan goyah.

Dan sekarang tinggal satu hal yang harus kulakukan.

Maafkan aku Johan. Aku harus melakukan ini.

Selamat tinggal dan terima kasih atas perasaanmu.

Aku mencintaimu.

...

END.

..

Iya End, gak salah. Ini bukan kisah yang berlanjut, meski terkesan menggantung 😂. Ini tugas kami untuk LenteraLiterasia 3500 word, melebihi persyaran 😂

Btw, thanks buat @eprokoso99 yang sudah mau berdiskusi denganku dalam membuat karya ini dan sabar dengan tingkah leletku yang menyebalkan dan sorry edokey aku pake kata mu 😂

Oke, sekian cuap cuapnya.
Share:

Monday, May 2, 2016

LOVE IS BRAVE

Hallo apa kabar pada blogku.
hahaha... sudah lama gak dibuka, sudah banyak laba-laba yang merajut sarangnya.
BTW, senang rasanya akhirnya bisa mengupdate cerita baru untuk blog-ku ini. semoga reader gak ada yang bosan berkunjung yah. hehehe...
dan akhir kata, untuk reader yang masih menunggu untuk cerita-ceritaku. Tolong bersabar. Hahaha... *Seperti ada yang menunggu saja*

.......********........

LOVE IS BRAVE


... 

Lagi-lagi aku melihatnya seperti itu. Duduk menyendiri di bawah naungan pohon rindang taman fakultas, dengan pensil dan buku seketsa yang selalu dia bawa. Rautnya bahkan sama seperti kemarin, bahkan kemarin dulu dan sebelum-sebelumnya juga, selalu menyiratkan sebuah kesedihan bahkan tak jarang matanya mengeluarkan gerimis kecil yang berubah jadi aliran yang deras menuruni pipinya.

Sudah seminggu aku memperhatikannya. Senyum palsu selalu dia tebarkan pada teman-temannya, tak jarang dia juga ikut tertawa walau candaan temannya tak sekalipun lucu untuk ditertawai. Tawa yang terselip duka dan kesedihan. Terlihat tegar namun sangat rapuh di dalam.


Bukankah manusia memerlukan sandaran jika sudah tak kuat dengan apa yang mereka alami? Beban yang tidak bisa mereka angkat sendiri. Tapi dengan perempuan itu, bahkan kesedihannya tidak ingin diketahui oleh teman dan sahabatnya. Sangat naif, bukan? Padahal dia sangat membutuhkannya.

Yah begitulah sifat manusia.


Beberapa minggu sebelumnya dia tidak seperti itu. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya, bahkan tak jarang dia tertawa lepas bersama teman-temannya. Sedih dan air mata tak pernah sekalipun kulihat menghampirinya. Mungkin karena dia adalah perempuan yang tak kenal dengan kesedihan. Perempuan dengan semangat yang sudah menulariku dan mengajarkan bagaimana menikmati hari-hari tanpa rasa bosan. Perempuan yang memberiku warna-warna baru dalam hidupku.

Lucu. Aku bahkan tidak pernah berdekatan dengannya, mendekatinya pun aku tidak berani. Salahkan pada sifat pengecutku, yang entah kenapa tidak berkutik jika berada di sekitarnya, bahkan hanya menyapa ‘hai’. Lalu, bagaimana bisa?

Cinta.

Satu kata yang bahkan hingga kini tidak terdifinisikan dengan jelas. Namun, yang kutahu kata itu pulalah yang membuatku seperti ini. Memang aneh mencintai seseorang yang bahkan tidak mengenalmu. Lalu apa yang bisa kulakukan jika Tuhan sudah berbaik hati menitipkan rasa ini padaku, selain menerimanya.

Sudah tiga tahun sejak pertemuan pertamaku dengannya. Ketika musim gugur mulai menyapa kota, sejak daun mulai berguguran dan mengotori jalan setapak menuju gerbang kampus. Awal pertemuan yang sangat konyol namun melekat dihati hingga kini. Padahal mungkin saja dia sudah melupakan kejadian itu.

Dia dengan gaya tomboynya mencoba menolongku dari beberapa berandalan kampus yang ternyata adalah teman-teman SMA-ku. Matanya melotot menyuruh ketiga berandalan itu pergi. Tapi bukannya pergi berandalan-berandalan itu malah menertawainya. Aku hanya mengamati sikap perempuan itu, menunggu kelanjutan untuk tindakannya.

“Apa kalian tidak malu? Mengeroyok orang yang lebih lemah dari kalian?” Katanya dengan membentak. Dari balik punggungnya aku tersenyum geli. Betapa lucunya dia. Bertingkah layaknya seorang pahlawan yang menolong orang lemah dari penindasan. Padahal tak ada orang yang ditindas, mereka hanya menyapaku karena kami sudah janjian disini.

“Siapa yang menindas, Nona?” Tanya Adam. Tampangnya sebenarnya sangat menarik namun karena beberapa tindikan sebagai penghias wajahnya menyamarkan rupanya dan membuat beberapa orang beranggapan jika dia adalah seorang beradalan yang sering menindas.

“Hahaha... Dia mungkin salah paham, Adam.” Dion menimpali dengan tawanya. “Wajahmu membuat kita seperti berteman dengan seorang seorang penjahat. Lagipula ada apa dengan gaya berpakaianmu, Ngga. Mencoba jadi seperti kutu buku, heh? Dan kami dikira jadi penindas.” Lanjutnya menatapku, heran dengan gaya berpakaianku yang sangat tidak biasa.

“Eh.... Ma....maksud kalian? Apa kalian saling kenal?” Perempuan didepanku dengan tampang bingung bertanya dan itu membuat teman-temanku tersenyum.

“Iya, tentu saja kami saling kenal. Dia adalah sahabat kami.” Raka maju lalu memeluk pundakku, dan melakukan high five dengan tinju. Sapaan yang biasa kami lakukan.

Dan dapat kulihat dia malu sendiri. Wajahnya memerah lucu dan lagi-lagi membuatku tersenyum. Dan entah, sejak saat itu pula perasaan suka mulai menggerogotiku. Dia adalah gadis biasa, tidak cantik, pun tidak menarik, bahkan penampilannya tergolong sangat biasa dengan rambut hitam panjang yang bagian bawahnya bergelombang dan selalu diikat ponitail. Matanya bulat dengan iris hitam seperti rambutnya namun memancarkan kelembutan. Clarika. Sesuai dengan namanya, sifatnya lembut tetapi agak tomboy. Dia tidak seperti kebanyakan gadis yang suka menunjukkan pesonanya lewat tampilan. Berpakaian modis ala jaman kini. Dia tampil apa adanya hanya dengan jins dan kaos oblong sedikit kebesaran untuk tubuhnya.

Dulu aku tidak pernah merasakan sebuah debaran gila, bahkan jika dia memiliki status yang berpengaruh disekitarku, namun sekrang perasaan itu selalu saja menghampiriku jika berada di dekatnya. Dulu, aku tidak pernah salah tingkah jika bertemu dengan seseorang namun sekarang aku malah salah tingkah karena rasa gugup yang tiba-tiba menyerang jika dia melihatku─ walau hanya sekilas dan mata kami saling bersinggungan, bahkan tak jarang aku bertindak seperti orang tolol jika kami tak sengaja berpapasan. Kesan cool yang melekat pada diriku hilang begitu saja layaknya debu-debu yang ditiup oleh angin. Aku bahkan seperti sebuah boneka Bunraku yang dibiarkan menggantung tanpa seseorang yang menggerakkaannya.

Ah... Andai aku diberikan sebuah kesempatan. Sedikit saja. Aku ingin sekali berkenalan dan mengobrol dengannya. Walau singkat atau bahkan hanya beberapa kata saja yang bisa kami obrolkan. Sekali saja, aku ingin mengajaknya ke pantai, melihat matahari terbenam dan saling menggenggam tangan. Sekali saja─

PUUUK

“Woi... Lihat apaan?”

Aku tersentak, hampir saja terjatuh dari kursi taman ketika Dania datang dan menepuk bahuku keras. Aku menghela nafas dan memberikan delikan tajam padanya. Sepupuku yang satu ini memang tak tahu situasi dan sangat jahil. Baru saja mau terbang ke langit bersama khayalanku tentang Clarika. Eh malah dia menarikku kembali. Sial.

“Serius amat.” Aku tidak menyahuti kata-katanya lantaran masih merasa dongkol karena perbuatannya tadi. Pandangannya kemudian beralih pada apa yang barusan ku lihat. “Masih mengaguminya diam-diam?” Ucapnya sedikit meremehkan. Sebal juga sebenarnya dengan kata-katanya, terlebih dengan gayanya yang menyebalkan namun apa yang bisa ku balas ketika apa yang dia ucapkan adalah sebuah kebenaran. Aku memang menyukainya, diam-diam, “Ah... Payah. Kamu kan laki, masa gitu aja gak berani nyamperin. Malu tuh sama yang di bawah.” Lanjutnya sambil geleng-geleng kepala.

“Seharusnya aku yang bilang gitu. Kamu kan cewek, tapi mulunya kayak laki-laki. Gak bisa disensor, apa? Lagian, kok bisa Raka suka sama kamu. Cewek usil, cerewet, punya pikiran jorok, jelek pula.” Kataku tidak terima dengan apa yang barusan dia ucapkan. Aku benar-benar heran dengan Raka yang memilih sepupuku ini. Padahal banyak gadis-gadis yang berada di sekitarnya yang jauh lebih baik dari Dania. Lebih cantik, penampilannya lebih menarik, bahkan sifat dan sikap yang jauh lebih baik dari Dania.

“Wah... Ni anak cari gara-gara rupanya.” Ucapnya sambil mengambil ponsel dari dalam tasnya. Entah apa yang akan dia lakukan.

“Kamu mau apa dengan Hp itu?” Tanyaku. Perasaanku jadi tidak enak saat dia hanya membalasnya dengan seringai menyebalkannya. “Apa?” Tanyaku sekali lagi, mendesaknya agar mau memberitahuku. Namun dia malah mengetikkan sesuatu.

“Ni... Hehehe... Gimana yah kalau aku kirimkan ini ke Clarika─”

Mataku membulat ketika melihat apa yang akan Dania kirimkan ke Clarika─ Foto konyolku tahun kemarin yang tengah mencium gambar Clarika, entah bagaimana caranya mendapat foto konyolku itu. Cepat-cepat aku merebut ponselnya sebelum sempat terkirim ke nomor Clarika. Apa yang akan Clarika pikirkan tentangku jika gambar itu sampai terkirim padanya. Uh.. Tak bisa kubayangkan.

“Ah... Apa-apaan sih...? Kembalikan!” Ucapnya menarik kaosku, namun tak ku hiraukan. Aku mengambil ponselku dalam saku celana dan menyalin nomorya Clarika. Well, setidaknya aku punya nomornya. Kan lumayan bisa SMS-an, pura-pura salah kirim dan ujung-ujunganya bisa kenalan. Aku jadi tersenyum memikirkan itu.

“Dari mana kamu dapat nomor Clarika?” Tanyaku penasaran setelah menormalkan rautku yang sempat senyum-senyum gak jelas.

“Kembalikan dulu Hp-ku baru ku beritahu.” Katanya berusaha meraih ponselnya dari tanganku.

“Gak. Beritahu dulu baru aku kembalikan.”

Dia tidak menjawab dan malah naik ke atas kursi dan melompatiku. Kami berdua terjatuh di rumput. Untunglah sore ini tidak banyak orang kalau banyak entah dimana mukaku bisa ku simpan terlebih ada Clarika di sana, bagaimana pendapatnya tetang kami. Ah... Semoga dia tidak melihat kami seperti ini, karena— mungkin—dia juga akan memikirkan sesuatu yang sangat tidak bagus. Bagaimana tidak, posisiku dengan Dania saat ini seperti sepasang kekasih yang tengah kasmaran yang tahu tempat. Dia tengah menindihku dan tanganku berada di pinggangnya karena menahannya tadi.

“Aw… duh… duh… dahiku.. Sakit…” rintihnya setelah kami sama-sama sudah duduk. Dia memegangi dahinya yang memang agak merah karena bertubrukan dengan tulang bahuku yang keras.

“Mana sini kulihat. Makanya jangan kayak anak kecil dong. Sudah besar juga, tapi kelakuannya sama kayak anak kecil.” Tanganku mengusap dahinya yang memerah dengan pelan. Sesekali kutiup. Berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Well, ilmu ini kuperoleh dari film-film romantis yang sering ditonton Dania. Sebenarnya aku tak yakin. Mana bisa sakitnya hilang hanya dengan tiupan kecil seperti ini. Tapi setidaknya ini menunjukkan perhatianku─ ah, bukan tetapi rasa bersalahku padanya.

“Aw… sudah ah. Bukannya sembuh, malah makin sakit. Niat nolong, gak sih?”

“Yee… ditolongin juga. Harusnya tuh kamu berterima kasih, bukannya marah-marah kayak gitu. Heran deh, Raka lihat kamu itu dari mana, yah? Kok bisa gitu dia milih kamu. Kamu pake pellet yah?”

“Ih… sembarangan.. Dia tuh beneran suka sama aku. Bahkan sebelum kami kenalan, tapi bagusnya dia berani, beda dengan orang yang kukenal. Dia pengecut hanya bisa melihat orang yang disuka dari jauh, takut mendekat. Ah.. Gak tahu apa yang dia takuti.” Sahutnya tidak terima dan malah menyindirku.

“Loh kok jadinya aku yang dibahas. A— ”

“Tuh lihat… kayaknya dia mau nangis tuh.” Dania memotong perkataanku yang baru saja ingin mengomelinya karena mengataiku.

Aku berbalik hanya untuk melihat Clarika. Dia lagi-lagi menunduk. Entah, apa lagi kali ini yang membuatnya kembali bersedih. Bukankah tadi gerimis itu sudah tak ada? Kenapa mendung itu kembali menghampirinya? Di mana pelangi yang biasa menghiasi senyumnya?

Sungguh aku merindukan senyuman yang biasa terlukis di wajahnya. Aku rindu dengan suara merdu yang berasal dari tawanya. Dan aku rindu dengan raut cerianya. Tapi sekarang, kenapa dia menjadi seperti itu? Apa yang sudah terjadi padanya? Kemana Clarika yang ceria dan penuh semangat? Kemana Clarika yang selalu membuatku tersenyum? Apakah.. Apakah karena dia? Dia yang selalu dibicarakan oleh mereka — teman-teman Clarika.

“Dari pada kamu lihat dari sini mending kamu samperin sana. Dia pasti butuh seseorang untuk mendengarkan semua keluh kesahnya dan dia juga pasti butuh pundak seseorang untuk bisa dia sandari untuk melepas beban di hatinya. Kamu mau kalau orang lain yang datang?”

Tanpa menyahuti perkataan Dania. Aku melenggang pergi meninggalkannya dan mencoba menghampiri Clarika. Baru kali ini aku menyukai kata-kata yang terlontar dari bibir usilnya itu. Biasanya hanya kalimat-kalimat sindiran dan ejekan yang dia berikan padaku. Terima kasih. Ucapku dalam hati. Aku tidak ingin membuatnya besar kepala hanya karena ucapanku itu dan membuatnya semakin semena-mena padaku.

Perlahan kakiku melangkah menghampirinya. Kukuatkan diriku agar tidak gugup di depannya dan melakukan hal bodoh yang bisa membuatku terlihat buruk. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Cara ini biasanya ampuh untuk menghilangkan rasa gugupku.

Tanpa ada izin darinya aku duduk tepat di sampingnya. Mengikuti drama romantic yang biasa Dania tonton. Mungkin aku juga bisa berakhir seperti di film itu. Yah.. Mudah-mudahan saja.

“Apa kamu baik-baik saja?” Tanpa kuperintahkan bibirku berucap sendiri. Aku merutuki diriku yang terlalu sok mengenalnya. Ah.. Sial, apa yang akan dia pikirkan tentangku. Seharusnya aku mengiriminya SMS saja, toh nomornya sudah kudapatkan.

Dia tidak berbalik, pun menghiraukan kata-kataku. Dia tetap menunduk tak memperlihatkan wajahnya. Angin sejuk menerpa kami berdua. Rambutnya berkibar dan menampakkan sedikit wajah sedihnya. “Kenapa kamu menangis?” Lagi-lagi sebuah kalimat terlontar dari mulutku. Oh Tuhan. Kenapa dengan bibirku ini. Seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Aku jadi terlihat seperti orang yang lancang ingin tahu masalahnya. Tapi memang benar aku sangat penasaran dengan ‘sesuatu’ yang membuatnya sedih.

“A.... Aku patah hati.” Ucapnya sesengukan. Angin kembali berhembus, entah kenapa angin ini terasa sangat berbeda. Lebih dingin dan tidak mengenakkan. Bahkan awan-awanpun lebih cepat beranjak dan meninggalkan taman kampus ini. Sesuatu yang sedari tadi kupikirkan ternyata benar. Dia bersedih karena seseorang. Seseorang yang dengan tega memecahkan hatinya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil yang sulit untuk dirangkai.

“Tiga tahun. Tiga tahun lebih aku mencintainya....” Dia mulai bercerita, namun tak ku sahuti. Aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Karena aku juga merasakannya. Patah hati. Dua kata yang mampu merobohkan seekor benteng kuat.

Tuhan memang sangat hebat dalam penciptaannya. Dia menciptakan sesuatu yang indah bernama cinta namun disisi lain Dia juga menciptakan kebalikannya. Patah hati. “Aku selalu memperhatikannya, selalu berusaha mendapatkan perhatiannya, tapi dia tidak sedikit pun mau memperhatikanku─”

Aku tahu perasaan itu. Aku juga merasakannya. Ketika seseorang yang kita sukai tidak sedikitpun melihat usaha yang kita lakukan demi mendapatkan perhatiannya. Sangat miris.

Tetapi, aku selalu meyakini jika suatu saat dia dan aku bisa bersama. Aku bisa menghilangkan sifat pengecutku dan mulai mendekatinya. Bukankah setiap orang didunia ini memiliki keyakinan, tujuan, dan impian walau terkadang rasa takut menghampiri ketika berbagai bayangan kegagalan datang menghantui? Tetapi jika bayangan itu bisa dilawan, tujuan dan mimpi pun dapat diraih. Selama kita memiliki keyakinan maka semua impian akan menjadi kenyataan dan bukan hanya menjadi sebuah khayalan.

“─Aku bahkan menjadi seorang idiot.” Ucapnya sesengukan membuyarkan semua lamunanku. Walau hatiku tidak bisa menerima dan sangat membenci orang yang membuat gadis yang kucintai patah hati, tetapi lebih menyakitkan melihatnya seperti ini─ wajah yang dihiasi dengan tangis kesedihan. Kurang ajar sekali orang itu. Kenapa dia tidak bisa melihat usahanya. “Beberapa kali aku sengaja terlihat konyol dihadapannya demi agar dia mau melihatku, tapi tak sekalipun pandangannya teralihkan dari gadis itu. Aku tahu mereka adalah sepasang kekasih. Tapi tidak bisakah dia melihatku. Menyadari kehadiranku. Sekali saja. Aku tahu menyukai seseorang yang telah dimiliki adalah sebuah kesalahan, tapi hati ini tidak bisa berbohong. Aku benar-benar mencintainya.”

Sakit.

Seperti ada tangan tak kasat mata yang tengah meremas kuat dadaku, meremasnya hingga menciptakan lubang di dasana, dan menghasilkan rasa sakit yang sangat. Siapapun pasti akan merasakan sakit, ketika orang yang dicintai mengaku jika dia mencintai orang lain. Bahkan melakukan apapun hanya untuk menarik perhatian dari orang yang dia cintai.

“Aku juga menjadi seorang penguntit─ ah. Sial. Aku bahkan menjadi seorang seperti psyco yang mencari tahu mangsanya. Apa yang dia suka, apa yang dia benci, kebiasaannya, apa yang menjadi favoritnya, makanan, minuman, dan segala hal tentangnya. Tapi sepertinya itu adalah suatu kebodohan, kebodohan yang dilakukan seseorang yang terjerat oleh cinta.”

Cinta adalah sesuatu yang aneh.

“Dan saat ini aku kembali menyaksikan dirinya dengan kekasihnya. Bahkan walau ditempat banyak orang seperti ini mereka tetap bermesraan. Rasanya sakit sekali─”

Cukup.

Aku tidak suka dia seperti ini.

Kuraih kedua bahunya dan membawanya dalam pelukanku. Dia kaget. beberapa saat dia menghentikan tangisnya walau sedikit sesengukan.
“Menangislah sepuasmu dan sesudah itu lupakan semuanya. Mulailah dengan cerita yang baru, cobalah lupakan dia. Dia yang sudah membuatmu seperti ini. Banyak hal yang bisa kau lakukan dari pada terus terpuruk karena patah hati. Aku yakin kamu bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dari dia. Dia yang tidak sadar akan kehadiranmu, dia yang menganggapmu hanya hembusan angin sore. Lebih baik dilupakan.”

“Tapi aku tidak yakin─”

“Yakinlah. Kamu pasti bisa. Jika kamu yakin bisa, maka kamu pasti akan bisa, karena keyakinan akan membentuk sebuah tindakan.” Sama sepertiku, aku yakin bisa dekat denganmu dan akhirnya aku bisa.

“Lalu dengan siapa aku harus memulai? Apa kau tahu jika cinta yang tumbuh selama bertahun-tahun tidak bisa memudar? Apa kamu─”

“Aku.” Aku segera memotong ucapannya karena tidak ingin mendengar kelanjutannya. Aku tahu cinta yang dipupuk sekian tahun tidak akan mudah untuk hilangkan, apalagi dengan seorang perempuan yang memulai. Perempuan yang memiliki hati yang sensitif. “Aku yang akan membuatmu melupakan sosoknya, aku yang akan membantumu melukiskan kisah dilembaran barumu.” Lanjutku mantap. Mungkin ini bisa disebut dengan memanfaatkan situasinya. Atau mungkin ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untukku supaya bisa berdekatan dengannya.

“Kau─” Matanya membulat ketika mendongak melihatku. Kata-katanya terhenti. Mata kami saling menatap, mengunci dan menyelami masing-masing.

“Kenapa?”

“Karena aku menyukaimu.” Ucapku lembut sambil membelai pipinya. Sesuatu yang dahulu hanya ada dalam anganku, akhirnya bisa kuraih.

“Kenapa?” Sekali lagi dia bertanya. Pertanyaan sama yang baru saja dia ucapkan.

“Karena aku menyukaimu.”

“Bukan itu. Bukankah kamu sudah memiliki kekasih? Bukankah Dania adalah kekasihmu?” Aku sedikit menyerngit, bingung menatapnya. “Kenapa kamu mau membantuku, jika kamu sudah memiliki kekasih. Bukankah itu sama saja kamu mau mempermainkanku.”

“Dania? Kamu kenal dengan sepupuku itu? Dan kekasih? Apa kamu menganggap dia adalah kekasihku?” Ucapku sedikit terkekeh setelah menyadari maksudnya.

“Ja... Jadi di... Dia, maksudku Dania bukan kekasihmu?”

“Bukan. Jadi apa kamu bisa memulainya denganku?” Tanyaku berharap dia menerimanya. Ini adalah salah satu usahaku untuk selalu dekat dengannya dan juga agar dia melupakan orang yang sudah membuatnya sesedih itu.

“Apa kamu tahu siapa orang yang sudah membuatku seperti ini?” Dia bertanya, memandangku dengan tatapan.... emosi, legah..... dan senang? Mungkin aku salah mengartikannya.

Aku tidak ingin tahu siapa dia. Aku mungkin tidak akan menahan diriku untuk memberinya hadiah. Hadiah yang setimpal dengan apa yang dia lakukan pada Clarika.

“Kamu.”

“Aku?”

“Yah, kamu. Kamu yang membuatku seperti orang idiot. Kamu yang membuatku seperti seorang psyco, dan kamu yang membuatku merasakan cinta yang tidak tersampaikan. Apa kamu tahu, lukisan yang aku pajang di galeri pameran oleh anak kesenian? Lukisan padang rumput dengan sebuah pohon rindang yang dibawahnya terdapat sebuah bangku yang diduduki oleh seorang perempuan yang tengah memandang seorang laki-laki yang tengah berbaring di tengah padang rumput itu?” aku mengangguk. Lukisan yang membuatku membayangkan jika yang duduk dibangku itu adalah aku dan yang tengah berbaring itu adalah Clarika. Lukisan yang menceritakan tentang seseorang yang mencintai dalam diam.

“Itu adalah lukisan yang menceritakan tentang diriku dan seseorang yang kusukai. Cinta diam-diam.”

Aku tidak bisa menahan diriku untuk bertanya, “Siapa?”

“Kamu. Orang yang kuceritakan tadi juga adalah kamu. Kamu yang membuatku seperti ini, kamu─”

“Kenapa kamu tidak bilang? Apa kamu tahu mencintai diam-diam itu tidak enak, apalagi ketika dia tak sedikitpun mengenalimu. Seperti berusaha menadah air dengan saringan. Tak akan ada yang bisa tertampung. Apa kamu tahu bagaimana rasanya cemburu pada orang yang kamu sukai padahal kamu tahu dia tak sedikitpun mengenalmu? Itu seperti memberi gula pada air laut. Sebanyak apapun yang kamu beri air laut itu tidak akan berubah manis.” Ucapku sedikit kesal namun sangat bahagia. Aku kembali memeluknya. Kali ini bukan untuk menenangkannya namun untuk diriku sendiri. Aku tidak mengira bahwa apa yang menjadi keyakinanku selama ini akan terwujud. Kecemburuan yang selama ini kurasakan adalah untuk diriku sendiri yang mana orang ku sukai ternyata menyukaiku. Orang yang selama ini kucemburui.

“Apa menurutmu kita ini bodoh?” Tanyanya setelah kami diam dan menyelesaikan kebodohan kami.

“Mungkin.”

“Seandainya aku memiliki keberanian untuk mendekatimu, mungkin kita tidak akan seperti ini. salah paham dan mencemburui sesuatu yang jelas, hahaha...”

“Yah seharusnya aku juga berani.”

Dan inilah akhir dari penantianku. Mendapatkan seseorang yang sudah lama kusukai, ah.. maksudku ku cintai. ternyata cinta itu memang membutuhkan suatu keberanian. Berani bertindak.

Tak selamanya cinta diam-diam berakhir dengan patah hati. Keyakinan, usaha, dan mimpi adalah hal yang mendorong orang untuk meraih sesuatu. Keyakinan membuat kita untuk berusaha dan mimpi mendorong kita untuk mewujudkannya. Dan lihatlah ketika kita mengalahkan bayangan kegagalan yang menghampiri, tak ada yang tidak bisa kita raih.

Inilah kisahku.

END.

*semoga kalian menyukainya....
Share:

Saturday, September 5, 2015

Kaca yang Kembali Jadi Lebih Indah





Main : Taxy Driver
Rate: T
Genre: Slice of Life
WARNING: AU, OOC, OC, typo, alur GaJe cerita se-mau-gue.
Story by
MICKEY139

SUMMARY :

Dia selalu diam ketika kujemput, tetap diam sambil menyenderkan kepalanya di kaca mobil. Ekspresi sedih tetap bertahan di wajahnya sampai ia turun dari mobil.

~happy reading~



       Dia masih sama seperti beberapa waktu lalu ku temui. Dengan baju ketatnya yang kurang bahan duduk menyender di bangku penumpang sambil memperhatikan pemandangan luar kota Kendari dengan pandangan kosong seolah pikirannya tengah berkelana.

     Sebenarnya dia adalah seorang wanita yang cantik namun dandanannya yang tebal menutupi kelebihannya itu. Dia juga memiliki bentuk tubuh yang indah, yah lelaki normal mana pun pasti akan sependapat denganku. Tapi sayang, dia bukannya menutupi malah memamerkannya. Setiap malam dia selalu datang ke klub khusus para eksklusif dan keluar dengan lelaki yang berbeda. Entah apa yang dia kerjakan. Aku tak mungkin sembarang berspekulasi.

      Ku lirik dia dari kaca spion, dia masih dalam posisi yang sama. Guratan wajah yang sama dengan tatapan yang sama. “Maaf, mbak. Apa mbak gak kesakitan duduk dengan posisi itu terus? Punggung mbak bakalan sakit nanti.” Ku coba membuka sebuah percakapan. Mencairkan suasana di antara kami─ walau aku sudah tahu bagaimana reaksinya─ setidaknya atensinya berubah. Namun dia tetap diam, tak mengubah arah pandangnya padaku. Dia masih setia memperhatikan jalanan kota yang dipenuhi oleh kerlap-kerlip lampu dari beberapa kendaraan dan bangunan yang berdiri di pinggir jalan.

     Beberapa menit kemudian setelah tak mendengar suaranya, aku kembali memperhatikan dia lewat kaca spion di depanku. Kali ini dia sudah mengubah cara duduknya. Pandangannya tidak lagi fokus pada pemandangan luar, tetapi ke depan. Namun tetap kosong.

     Aku menghela nafas, dia selalu seperti itu. Selalu tertawa sebelum naik ke taxi mobilku, dan setelah berada di dalam, ekspresinya berubah. Tak ada tawa, tak ada sorot keceriaan yang ada hanya guratan kesedihan yang selalu saja membuat perasaanku tak nyaman. Seandainya bisa, aku ingin sekali membawanya ke dalam pelukanku, menenangkannya dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja namun siapalah diriku. Aku hanya seseorang supir taxi yang bahkan tak mengingat wajahku.

    “Berhenti di depan, Pak.” Katanya dan aku hanya bisa mengangguk mengikuti kemauannya tanpa protes atau tanya.

Setelah membayar dia turun dan kembali berjaan kaki. Memakai jaket panjang yang menutupi lekuk tubuhnya hingga lutut. Dia juga menghapus dandanannya yang tebal dan mengganti sandal tingginya dengan sandal jepit. Andai dia memakai jilbab, aku yakin aura kecantikannya akan semakin nampak. Ingin sekali aku mengantarnya sampai benar-benar sampai di rumahnya, tetapi itu tidak mungkin. Lagi-lagi pemikiran itu muncul. Siapalah aku baginya.

       Keesokan harinya, seperti biasa aku menunggu dia keluar dari klub. Menunggunya hingga pukul 02.00 dini hari. Dia lagi-lagi keluar dengan lelaki yang berbeda, tersenyum centil bahkan tertawa yang dibuat-buat dan lagi-lagi mendatangkan perasaan tak nyaman padaku. aku ingin menjauhkan laki-laki itu darinya, tangan yang berada di pinggangnya dan juga wajah laki-laki itu yang sengaja di dekatkan pada wanita itu.

       Aku benci melihat itu. Wanita itu tak menolak dan menerima semua perlakuan laki-laki itu. Aku ingin keluar dan menghajar laki-laki itu, menyeret wanita itu dan membawanya menjauh. Tapi aku sadar, aku bukan siapa-siapa. Siapalah aku baginya, aku mengenalnya, tahu namanya, dimana dia tinggal, tapi dia? Tentu saja tidak. Aku sadar, aku hanyalah seorang supir taxi yang kebetulan selalu di tugaskan untuk mengantarnya. Dan aku adalah seorang laki-laki yang dengan bodohnya terperangkan dengan perasaannya sendiri. Yah, aku mengakuinya. Aku sudah jatuh hati pada wanita ini. Wanita yang tak tahu siapa aku.

      Dia masuk ke dalam taxi, duduk di tempat yang sama, posisi yang sama, dan pandangan yang sama. Aku selalu berpikir, sebenarnya apa yang tengah dia pikirkan. Sudah seminggu ini aku selalu mengantarnya dan dia selalu bertingkah seperti itu, walau ku ajak bicara tak pernah sekali pun dia menyahuti. Dia tetap sibuk dalam pikirannya sendiri dan barulah ketika sampai di tempat tujuan dia berbicara.

     Aku memikirkan sesuatu, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai sebuah percakapan, “Mbak! apa mbak tahu bedanya kaca bening dengan kaca putih?” dia berbalik dan menatapku. Mungkin kali ini aku berhasil membuka percakapan yang menarik baginya.

         “Tidak.” Jawabnya sangat singkat dan tidak meminta penjelasan tetapi aku tahu dibalik jawaban singkatnya itu, dia juga menginginkan sebuah penjelasan.

        “Kaca bening seperti air sedangkan kaca putih seperti susu.” Jawabku. Ku akui penjelasanku itu sangatlah konyol. Mungkin dia merasa perbedaan itu berasal dari fiosofi, tetapi aku benar-benar tak tahu. Aku hanya mencari topic yang bisa mengubah atensinya.

      “Terima kasih, itu cukup menghibur.” Katanya sambil tersenyum. Aku tersentak mendengar suaranya namun mencoba tetap tenang. Baru kali ini dia menyahuti obrolanku. Ini benar-benar sebuah kemajuan.

        Dia kembali terdiam dengan posisinya semula. Entah apa yang dia pikirkan. Andai aku memiliki kemampuan untuk menyelami pikiran orang lain, aku ingin dia yang menjadi orang itu.

     “Apakah sebuah kaca yang pecah masih bisa diperbaiki dan kembali seperti semula?” Aku mengerutkan dahi, entah dia bertanya atau hanya sekedar bergumam. Namun aku mencoba untuk menjawabnya. Mungkin saja dia bertanya padaku.

       “Kaca yang pecah memang tidak bisa diperbaiki, Mbak, apalagi kembali kekeadaan seperti semula. Tapi kaca itu bisa di daur ulang dan menghasilkan kaca yang lebih indah.” Jawabku tetapi dia tidak bereaksi dan tetap diam memandang pemandangan jalan kota seperti biasa. Rupanya dia hanya bergumam dan jawabanku tidak mempengaruhinya. Setidaknya aku sudah berusaha.

     Keesokan harinya aku kembali melakukan pekerjaanku. Menunggunya dari luar klub malam kemudian mengantarnya pulang. Tetapi hingga pukul 03.45 dini hari dia tak kunjung keluar bahkan setelah semua lampu klub padam. Aku kemudian pulang dengan perasaan yang tak seperti biasa. Rasanya ada yang kurang ketika tidak melihatnya. Dia seperti sudah menjadi bagian dari diriku dan ketika tidak ada rasanya aneh. Tidak mengenakkan.

     Banyak pikiran buruk yang terlintas. Tetapi aku coba berpikir optimis. Barangkali dia punya urusan saat ini atau mungkin saja dia sudah pulang lebih dahulu sebelum aku tiba di tempat ini. itu mungkin saja.

      Namun keesokan hari ketika aku kembali dia tak kunjung nampak hingga berminggu dan berganti bulan, tak pernah lagi kutemui sosoknya itu. Dia sudah pergi. Pergi dengan membawa sebagian dari diriku.

     Hari ini tepat lima bulan setelah kepergiannya, namun tak sedikitpun aku bisa melupakan sosoknya. Wanita itu entah bagaiamana bisa dia mengubahku sampai seperti ini.

     Hari sudah beranjak dan digantikan malam. Aku menghentikan laju mobil di depan sebuah masjid. Masjid yang baru ku ketahui adanya ketika mengantarkan wanita itu pulang. Ah.. Aku jadi teringat kembali dengan wanita itu. Kira-kira bagaimana keadaannya saat ini? Apakah dia sudah melupakanku. Pertanyaan bodoh. Hal itu sangat jelas, bukan? Bahkan ketika mengantarnya tak sekalipun dia memperhatikan diriku, menatapku pun barangkali hanya beberapa detik saja.

     Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam masjid setelah mengambil air wudhu. Melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim dan berserah diri pada-Nya.

Aku keluar setelah selesai dan kembali bergulat dengan pekerjaanku. Menjadi seorang supir taxi

     PUK

     Belum sempat membuka pintu mobil seseorang menepuk bahuku. Aku berbalik menatapnya. Awalnya aku bingung dengan perempuan itu barulah ketika melihat senyumnya aku langsung menyadari.

     Dia adalah wanita yang selalu kutunggu. Wanita yang sering mengganggu malam-malamku, mendatangi tiap mimpiku, dan wanita yang sdauh membawa sebagian dari diriku.

Penampilannya sangat berbeda. Dia tak lagi memakai pakaian kurang bahan yang ketat, tidak lagi menghias wajah dengan dandanan tebal dan tidak lagi memakai parfum yang menyengat. Dia sudah berubah. Pakaian gamis dengan hijab yang tidak mempertontonkan auratnya dan perlengkapan sholat di sanggahkan pada lengan tangan kanannya.

     Apa dia benar-benar wanita itu? Pikirku.

     “Hai, Mas. Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?” Tanyanya dan aku tersenyum sebelum menjawab. Aku benar-benar senang melihat wanita ini lagi. Apalagi dengan penampilan barunya. Sungguh membuat sesuatu dari dalam diriku menari-nari kegirangan.

     Memang benar, kaca yang retak tidak bisa kembali seperti semula, tetapi jika di daur ulang kembali akan menghasilkan kaca yang lebih indah.


Sekian.

a/n : akhirnya aku bisa membuat sebuah cerita pendek. Hahaha... walau akhirnya jadi Gaje. KWAK :V.

Mickey139





Share:

Monday, October 13, 2014

Ngakak di Depan Ruang Sidang Skripsi




Hahaha.....

Lucu deh dialog antara temanku, aku dan seniorku. Awalnya hanya datang untuk mendukung senior yang lagi sidang skripsi tahu-tahunya malah melucu.

“Diana, cepat-cepatmi selesai!” kata seniorku. Yadin nama dari seniorku itu telah menyelesaikan sidang skripsinya beberapa hari yang lalu. Kami sekarang sedang menunggu senior yang lain, yang tengah menjalankan sidang skripsinya. Sambil berharap-harap cemas, kami bercakap-cakap.

“Iyo” jawabku, “ka muchtar lamami dia tunggu kau itu.”

“Ih... jangan dulu! Kerja dulu toh. Kita kasikan dulu gaji pertamata untuk orang tuata, baru menikah.” Jawab temanku itu.

“Eh... korang tahu kah itu perempuan diibaratkan seperti bola.”

“Maksudnya?” tanya kami berbarengan.

“Perempuan yang lulus SMA itu seperti bola kaki, diperebutkan 22 orang.”

“Apa maksudnya itu? kenapa bisa?” tanyaku bingung dengan penjelasannya.

“Ada berapakah itu pemain sepak bola?” tanyanya.

“11 orang.” Jawab temanku yang bernama Aisyah.

“Oh ... iya ... iya ...” aku mengerti walau penjelasannya singkat.

“Terus kak?” lanjut Aisyah.

“Kalau tamat S1, kayak bola voli, diperebutkan oleh 12 orang. Terus kalau S2 dia itu kayak bola takrow, diperebutkan 6 orang-” Penjelasannya terhenti karena pertanyaanku.

“Kenapa tambah sedikit?” tanyaku polos

“Karena semakin tinggi sekolahnya, semakin tinggi uang panae-nya.” Aku hanya mengannguk tanda setuju.

“SMP itu minimal 30 juta lah, SMA 40 juta, kalau S1 50 juta.”

Lagi-lagi kami hanya mengangguk tanda setuju.

“Kalau sudah S3 kayak bola golf.”

“Kenapa?” Tanya Diana.

“Karena satu orangji yang perebutkan” jawabku.

“Salah.” sanggah kak Yadin.

Kami semua bingung dengan jawabannya.

“Kalau bola golf itu di pukul jauh-jauh.”

“Ih kenapa?”

“Karena sudah ...."

"Korang pikir saja sendiri."

"Ededeh. Kita kasi berpikir lagi kita."

Tetapi kak Yadin malah cuek. Nggak peduli dengan rengekan kami semua, dia tetap tak menyahut.

Jadilah Suasana yang tadinya tegang, diam, dan penuh dengan harap-harap cemas jadi tambah pikiran. Aku benar-benar penasaran.

... 

Catatan.
Mohon maaf apabila ada pihak yang merasa tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud merendahkan, murni karena spontanitas. 
Share:

Tuesday, October 7, 2014

Cinta dalam Diam

Judul : Cinta dalam diam
Penulis : Mickey139



🖤🖤🖤 Happy Reading 🖤🖤🖤




“Sekarang cewek mana lagi tuh?”

“hei...hei...hei... kau kenapa sih bicaranya gitu terus tiap aku membawa cewek?”

Yah... aku memang sering mangatakan itu padanya. Dia sering menggonta-ganti perempuan tiap kali kami ketemu. Bukan berarti gonta-ganti yang seperti kalian pikirkan. Terakhir kali kami bertemu bulan lalu dan dia bersama perempuan yang berbeda.

“sebetulnya apa sih yang kamu cari dari pacaran?” tanyaku dengan nada penasaran, “atau kau hanya ingin mengoleksi mantan?” tambahku.

“kau bisa menganggapnya begitu.” Jawabnya dengan nada bercanda.

“jadi itu memang benar yah?” tanyaku.

“hei... kau serius sekali. Aku hanya bercanda. Hahahaha....” tawanya, “aku bukan sepert itu.”

“lalu?”

“hm... walau kuceritakan, kau juga tidak akan mengerti.”

“maksudmu?”

“kau itu masih polos.” Aku menggembungkan pipiku, karena ucapannya.

“kau tidak akan mengerti bila belum merasakan cinta, selama ini kau terus saja melihatku membawa cewek yang berbeda. Itu semua karena aku masih mencari yang lebih cocok. Kau tidak mengertikan? Tentu saja, tidak karena kau belum merasakan apa itu cinta?” lanjutnya.

Aku hanya terdiam mendengarkan ucapannya. ‘Kau kira cuma kau saja yang pernah merasakannya? Aku juga pernah dan itu sangat sakit’ ucapku dalam hati

“kau tidak akan mengerti sebelum kau merasakannya.”

Aku menunduk, entah kenapa kenangan yang telah bertahun-tahun kulupakan muncul kembali, “cinta itu bagaikan peluru, tak ada obat yang bisa mengobatinya.” Aku tidak tahu kenapa bibirku mengucapkan kalimat itu.

Dia diam dan memperhatikanku, “apa maksudmu?”

“aku akan menceritakanmu kisah cinta dari seorang gadis yang hanya diam-diam mencintai seseorang. kamu bisa mengartikannya angan-angan seseorang yang mengharapkan cintanya dibalas atau hanya cinta bertepuk sebelah tangan”. Aku memperhatikannya, menunggu tanggapan yang akan dilontarkannya pada ceritaku. Tak ada tanggapan darinya, akupun melanjutkan ceritaku.

“ada seorang gadis, dia mencintai seniornya. Awal pertemuan gadis itu dengan seniornya dimulai ketika seniornya tak sengaja melupakan alat-alat praktikum dirumahnya dan meminjam perlengkapan gadis itu. Entah kenapa, tanpa bertanya lebih lanjut gadis itu meminjamkannya. Anehkan?” Tanyaku padanya, dia hanya menyerngit, “padahal perlengkapan itu sangat penting, bila gak ada perlengkapan itu, gadis itu tidak akan bisa masuk praktikum dan itu berarti nilainya akan jelek” Dia hanya menatapku, tak bersuara, dan menungguku untuk melanjutkan ceritaku.

“lama, gadis itu menunggu dan mencari senior yang sudah meminjam alat-alat praktikumnya, namun ia tak menemukan seniornya itu, padahal ia akan praktikum sebentar lagi. Tidak berapa lama, ternyata temannya yang mengembalikan alat-alat praktikumnya. Ada sedikit rasa kecewa yang timbul, yah seharusnya dialah yang mengembalikannya, dia yang sudah meminjamnya, kenapa malah temannya yang mengembalikannya. Pikir gadis itu.

“entah kenapa gadis itu terus memikirkan seniornya, padahal mereka baru bertemu. Bukan berarti gadis itu menyukainya, namun karena penasaran. Akhirnya gadis itu mencari tahu tentang seniornya. Setelah beberapa lama pencarian, akhirnya gadis itu mengetahui nama seniornya. Dia sangat senang. Padahal hanya nama saja dan itu sudah membuatnya senang.”

“wajarkan kalau kau senang jika menemukan sesuatu yang kau cari-cari. Yah walaupun itu hal yang sepele bagi orang lain, namun karena usaha dan kerja keras yang kau lakukan, pasti akan membuatmu bahagia.” Katanya. Aku terdiam, ternyata temanku ini bisa juga berkata bijak.

Aku melanjutkan ceritaku, “gadis itu sudah mengetahui nama dari seniornya, ia kemudian mencari tahu yang lain, memang aneh, bila kita berfikir kembali, mengapa gadis itu mencari tahu tentang seniornya padahal ia tak menyukainya. Bila hanya penasaran tidak akan sampai seperti itu. Akhirnya gadis itu sadar ternyata perasaannya bukan hanya penasaran melainkan sudah sampai taraf menyukai.”

“Berbulan-bulan telah terlewati, gadis itu hanya bisa mengaguminya secara diam-diam. Bahkan teman-temannya pun tak ada yang mengetahuinya.” Aku berhenti sejenak, meliriknya. Kedua alisnya mengkerut, bingung. Sebelum ia bertanya kudahului dia, “Mengapa? Yah karena ia malu, ia tidak ingin digoda ataupun diejek oleh temannya. Ia tak mau seperti temannya yang sering diejek karena juga menyukai seniornya di kelas lain.”

“akhirnya gadis itu dapat berbicara dengan seniornya itu, walau dalam keadaan yang bisa dikatakan sangat berbahaya, karena berbicara saat ujian diadakan. Seharusnya ia tak boleh melakukannya apalagi bertukar jawaban. Tapi karena orang itu adalah senior yang disukainya, dengan senang hati ia lakukan.”

“Menginjak semester pertengahan, ia mendengar suatu kabar, ternyata senior yang dikagumi itu sudah memiliki kekasih. Bagai ribuan kunai yang menancap di dadanya, hatinya sakit. Terlebih saat kalimat lain masuk di indra pendengarannya, bahwa seniornya itu akan melakukan apa saja untuk kekasihnya itu, termaksud bolos sekolah atau praktikum hanya untuk menjemputnya. Entah karena terlalu setia atau itu memang sudah menjadi sifatnya, dia melakukan itu.”

Kulirik temanku itu, ia ingin mengeluarkan kata-katanya, namun aku mendahuluinya.

“gadis itu akhirnya hanya bisa melihat seniornya. mengaguminya dengan diam-diam tanpa diketahui oleh teman-teman terdekatnya. Ia juga tidak pernah berharap hubungan seniornya dengan kekasihnya itu berakhir. Namun tidak dipungkiri di dalam hati terdalamnya ia berharap seperti itu.”

“hingga akhirnya kabar indah itu terdengar sampai ke telinganya. Seniornya akhirnya putus dengan kekasihnya, bagai jutaan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya, hatinya menghangat seakan-akan gunung es di hatinya telah dilelehkan oleh kabar itu. Ia ingin mendekatinya, namu sebelum itu terjadi ia diwajibkan ikut keluar kota untuk mengikuti program dari kelasnya.”

“Namun ia tak pantang menyerah, ia mencoba-coba mencari di media social tentang seniornya dan akhirnya pencariannya berhasil. Ia menemukan nama seniornya itu sedang mengomentari salah satu status dari temannya. Gadis itu pun meminta seniornya untuk menjadi salah satu temannya di media social itu. hingga akhirnya mereka bisa saling memberikan komentar tiap status mereka. Seniornya itu sangat respek, menanggapi tiap komentar yang dikirimkan gadis itu. mereka saling bercanda ria lewat media social itu.”

“sepulangnya ia dari program itu, ia berencana untuk mendekati seniornya itu, namun tanpa diduga-duga ternyata seniornya itu telah dekat dengan juniornya. Kau tahu rasanya jika ditimpa dengan palu 10 kg dari ketinggian 100 meter dan tepat mengenai jantungmu. Sakit. Yah rasa itulah yang tengah dialaminya. Sangat sakit. Ia berusaha untuk tetap berperilaku normal, tetapi tetap tidak bisa,,rasa sakit itu terus saja menjalarinya. Semakin ia berusaha untuk bersikap normal, rasa sakit itu semakin terasa. Hingga ia tak bisa lagi menahannya, ia kemudian menghubungi seniornya itu untuk menemuinya.”

“mereka janjian di taman rekreasi. Taman itu tak satu pun memiliki pengunjung, karena waktu itu memang masih dalam jam kerja dan sekolah. Gadis itu pun memberi tahu tentang semua perasaannya. Perasaan yang awalnya hanya penasaran, lalu berubah mengagumi, berkembang menjadi suka, dan berevolusi menjadi cinta. Dengan pipi yang dihiasi dengan air mata ia terus menceritakan semuanya.”

‘aku mencintaimu, sangat mencintaimu, perasaan yang telah kupendam selama tiga setengah tahun ternyata tak bisa lagi kutahan. Maaf jika aku mengatakannya, maaf jika dengan kata-kataku akan membuatmu tidak enak hati padaku. Maaf... maafkan aku, tapi aku benar-benar mencintaimu, aku juga tidak bermaksud untuk membuatmu menjauhi atau dijauhi olehnya. Aku hanya mencintaimu....’ Itu adalah kalimat yang diucapkannya dan tanpa mendengar kata-kata yang akan dikeluarkan dari seniornya itu, gadis itu kemudian berlari, terus berlari hingga tak melihat taman itu lagi.”

“keesokan harinya, gadis itu tak nampak lagi disekolahnya. Hingga menginjak minggu pun ia tidak masuk. Teman-temannya yang khawatir padanya tdiak digubris dan akhirnya ia pun pindah sekolah. Ia tidak mau lagi bertemu dengan seniornya itu, ia tak mau lagi merasakan sakitnya mencintai. Dan sampai sekarang ia tidak pernah lagi mendengar kabar dari seniornya itu.”

“apa itu tentang kisahmu?” tanyanya.

Aku tak menanggapi pertanyaan temanku itu, aku hanya menunduk, mataku terasa panas, mengingat semuanya hingga aku merasakan ada aliran air hangat yang memabasahi kedua pipiku. Aku menangis, meratapi kebodohan yang pernah kulakukan. Tanpa menunggu kata-kata yang akan terlontar dari mulut seniorku itu, aku meninggalkannya.

“apa kau sedih karena mengingat masa lalumu? Atau kau bersedih karena menyesali kebodohanmu di masa lalu?”

Aku tidak menggubrisnya dan terus saja menunduk. Ia merengkuhku, mencoba untuk menenangkanku.

“bila cinta harus berakhir dengan kesedihan, jangan pernah menyesal dengan sebuah pertemuan karena seseorang telah membuatmu sedih adalah orang yang pernah membuatmu bahagia.” Aku hanya mendengarnya tanpa merespon. “dalam cinta, meski kamu harus menunggu lama, percayalah bahwa cinta pasti membawamu ke tempat kamu seharusnya berada. Apa kau masih menyukainya?”

Aku hanya mengangguk dalam pelukannya. Memang tak dapat dipungkiri, setelah lima tahun tak pernah mendengar kabar darinya aku masih mencintainya dan tetap mengaharapkannya.

“kalau kalian berjodoh, kalian pasti akan dipertemukan lagi.”
.
.
.
.
.
.
.
.

O W A R I
.
.
.
.
.
.

Setelah mengeluarkan semua yang telah kupendam selama ini. Aku merasa lega, namun entah kenapa aku masih memikirkan seniorku itu.

Saat ini aku sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Tadi Riko sudah menawarkan untuk mengantarku pulang, namun aku menolaknya. Aku masih ingin jalan-jalan dan menenangkan pikiranku.

Aku berhenti di sebuah taman, tempat dulu aku menyatakan cintaku. Tiga bulan yang lalu, aku pindah ke kota ini, setelah lima tahun kutinggalkan. Kakiku melangkah masuk ke dalam taman itu. Namun terhenti setelah beberapa meter dari bangku yang pernah kugunakan untuk menunggu orang yang telah mengisi hatiku beberapa tahun yang lalu.

Mataku membulat. Perasaan yang sudah lama tak kurasakan kembali lagi. Perasaan hangat ketika bertemu dengan seniorku. Benarkah dengan apa yang kulihat saat ini? Seseorang yang berusaha untuk kulupakan berada di hadapanku. Duduk tepat di kursi tempatku menunggunya dulu.

Kakiku melangkah dengan berat untuk menghampirinya.

“hai...?” sapaku takut-takut. Ia mendongak untuk melihatku. “lama tak bertemu.” Lanjutku.

Matanya membulat, mungkin karena kaget melihatku, orang yang pernah menyatakan cintanya sedang berada dihadapannya. Ia berdiri dan merengkuhku dengan tiba-tiba. “kau... kau pikir enak yah menunggu?” katanya di sela-sela rengkuhannya.

Aku hanya terdiam dan mendengarkan penuturannya, “kau memang menungguku tiga setengah tahun, tapi kau membuatku menunggumu selama lima tahun.”

Aku diam, tetapi air matakulah yang terus mengalir. “kau berlari meninggalkanku setelah mengungkapkan perasaanmu, dan tak mendengarkan penjelasanku. Kau pikir bagaimana perasaanku saat itu. Orang yang kucintai membalas persaanku, namun tak mendengarkan balasanku? Kau pikir bagaimana rasanya selama bertahun-tahun menunggu namun orang yang kita tunggu tak mengetahui perasaan kita?”

Aku makin terisak. Ternyata seniorku itu juga mencintaiku. Bodoh sekali aku saat itu, berlari meninggalkannya, tanpa mendengarkan jawabannya. Apa yang dikatakan Riko memang benar, jika jodoh pasti bertemu. Walau itu bertahun-tahun lamanya, kami telah dipertemukan lagi
.
.
.
.
.
.
.
.
.
END
Share:

TERBARU

Copyright © 2014 - SUKA SUKA MICKEY | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com